Sebelum jadi wasit saya dulu itu pemain sepak bola aktif. Saya sudah main sepak bola sejak SD. Saya biasa bermain di posisi gelandang serang.
Dulu saya pernah ikut Porkesda saat usia 13. Saat SMA saya ikut Piala Soeratin 1984/1985 bersama PSPS Pekanbaru junior.
Pada 1985 saya merantau ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI) mengambil jurusan hukum. Saya memperkuat tim UKI untuk Liga Mahasiswa. Saat itu saya satu tim dengan Fakhri Husaini di UKI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian pada 1988 saya memperkuat Persija Jakarta Selatan (PSJS) untuk kompetisi Divisi Satu PSSI. Itu klub profesional pertama saya.
Kemudian pada 1990 saya pindah ke klub anggota Persija Barat bernama Bimantara yang dilatih oleh Doni Patinasarani [adik Roni Patinasarani] dan Andi Lala. Saya bermain di kompetisi internal Persija Barat. Dari kompetisi tersebut saya terpilih masuk skuad Persija Barat untuk tampil di Divisi II PSSI.
Pada 1991 saya pindah ke klub Persada Utama Sleman untuk tampil di Piala Presiden. Kebetulan saya tinggal menunggu waktu wisuda saja, jadi bisa bermain di Sleman.
Menariknya karena saya tidak dapat surat pindah dari klub sebelumnya, yaitu Bimantara, makanya saya pakai nama palsu di klub Persada Utama Sleman. Nama saya di tim itu bukan Jimmy Napitupulu tapi Rustandi Jaelani. Jadi semua orang di Sleman, kecuali manajer mengenal saya dengan nama Rustandi Jaelani.
Setelah enam bulan di Sleman saya pulang ke Jakarta dan bergabung dengan klub internal Persija Pusat namanya klub Maluku dari 1992 hingga tim itu bubar pada 1993.
Saya kemudian pindah ke Metro Data, klub internal Persija Selatan Kemudian saya pindah lagi ke klub internal PSJS yg lain yaitu PS Betah [Bekas Tahanan] pada 1994/1995 sampai klub itu bubar pada 1999. Nah di klub Betah itu saya memulai menjadi wasit C3 pada 1995.
Lalu saya memperkuat PSJS lagi pada zaman pelatih Biner Tobing. Dan pada 1999 saya pindah ke Aris FC hingga akhirnya gantung sepatu dari sepak bola profesional dan mulai fokus menjadi wasit.
Sementara kalau berbicara latar belakang dan masa kecil saya ini termasuk anak yang bandel.
Saya lahir di Pekanbaru, Riau, 13 Oktober 1966. Saya anak pertama dari enam bersaudara. Saya dari keluarga yang berkecukupan. Bapak saya (Mangetar Robertson Napitupulu) bekerja di PT Caltex Pacific Indonesia (Chevron) sejak 1957.
Jadi saya kecil tidak pernah hidup susah. Saya sekolah di Santa Maria mulai TK, SD, sampai SMP. Baru saat SMA masuk SMAN 1 Pekanbaru.
Tapi saya dididik keras oleh orangtua saya. Waktu kecil itu bandel dan keras kepala. Walaupun orangtua didik saya keras, saya masih suka melawan. Saya pernah ribut sama ayah saya hingga kabur dari rumah lima hari sewaktu SMP kelas 1.
Dulu waktu SMA saya juga paling malas kalau disuruh upacara setiap Senin karena panas. Nah kebetulan rumah saya tidak jauh dari SMAN 1 Pekanbaru, sekitar 500 meter.
Setiap Minggu malam saya selalu datang ke sekolah untuk gembok pintu pagar sekolah. Saya pakai 10 gembok. Kebetulan gembok bapak saya banyak di rumah.
Jadi ketika mau upacara Senin, petugas harus menggergaji dan akhirnya kami pun tidak jadi upacara.
Waktu SMA kelas tiga saya juga pernah berusaha mencuri soal ujian nasional dari sekolah. Jam 1 dini hari, saya bersama 10 orang teman mencoba membobol sekolah untuk mengambil soal ujian itu.
Kebetulan salah satu teman saya punya ilmu [gaib]. Jadi dia bisa membuka gembok dengan cepat dan bisa menghipnotis orang dengan hanya menabur tanah kuburan.
Jadi malam hari kami ke kuburan dulu untuk mengambil tanah, lalu kami lemparkan ke atas ruang penyimpanan soal ujian itu. Satu penjaga berhasil kami hipnotis, tapi ternyata ada penjaga kedua yang datang dari luar yang tidak terhipnotis. Kami pun ketahuan dan kami semua lari terbirit-birit.
Lalu SMA kelas 2 saya pernah pergi bersama teman saya dari Pekanbaru ke Padang. Saya berangkat dengan bonceng tiga pakai Vespa. Di Padang saya tidak pernah bayar makan atau saat isi bensin. Jadi kami selalu kabur. Hal ini masih sering saya lakukan ketika kuliah di Jakarta.
Kalau sekarang saya tidak punya kesibukan. Saya hanya menikmati masa tua dengan bermain sepak bola atau tenis bersama kelompok umur 50 ke atas. Saya juga tidak punya bisnis, karena tidak suka berbisnis.
Sebab saya menilai talenta saya hanya di wasit. Jadi sekarang istilahnya 'mantab' atau hanya makan uang tabungan.