"Orang sukses paham tentang proses, orang gagal lebih banyak protes."
Begitu tulis Direktur Teknik PSSI Indra Sjafri pada 2 Januari 2022 atau sehari setelah laga final leg kedua melawan Thailand yang berakhir 2-2.
Indra dengan lugas menyebut proses, karena pernah melewati jalan yang tak mudah untuk membentuk tim juara. Indra sempat keliling ke sejumlah daerah di Indonesia untuk mendapatkan talenta muda di bawah usia 19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya Indra membuka haus gelar juara pada 2013, yakni kampiun Piala AFF U-19. Enam tahun berselang Indra mencapai tonggak lainnya, juara Piala AFF U-22 2019. Sayang ia gagal di SEA Games 2019 dengan pemain U-23.
Kini Indra menjadi Direktur Teknik PSSI, menggantikan Danurwindo. Ia mengawal semua level pembinaan hingga tim senior. Kehadiran Indra diharapkan bisa menjembatani proses yang menghasilkan prestasi.
Sayang pandemi Covid-19 datang. Program pembinaan pun tak berjalan. Liga 1 U-16, Liga 1 U-18, Liga 1 U-20, dan Liga 1 Putri, sempat mati suri. Dari empat ini, hanya U-16 dan U-18 yang bergulir pada 2021.
![]() |
Pada saat yang sama tiga strata kompetisi PSSI bergulir pada 2021/2022. Liga 2 sudah usai, Liga 1 masih berlangsung, sedangkan Liga 3 memasuki fase nasional setelah mengarungi fase regional di 32 provinsi.
Dari tiga strata kompetisi ini, ada problem yang relatif sama: kepemimpinan wasit jadi cela. Utamanya Liga 3 menghadirkan banyak kasus, seperti pemain ribut dan wasit tak becus yang berujung pengeroyokan.
Adagium 'kompetisi yang bagus akan menghasilkan pemain timnas berkualitas' pun jadi senjata untuk menyerang PSSI. Soal ini Haruna sepakat, namun ia juga mengkritisi cara melatih Shin.
Salah satunya sistem latihan Shin berbeda dengan klub. Klub sudah akrab dengan sistem latihan holistik antara fisik dan taktik. Ini adalah peninggalan Luis Milla yang dituangkan dalam buku Filosofi Sepak Bola Indonesia.
Di sinilah peran Indra Sjafri sangat penting, yakni menyelaraskan visi Shin Tae Yong dengan pelatih klub-klub Liga 1 demi Timnas. Shin Tae Yong bukan Luis Milla. Keduanya pelatih dengan kultur dan pola pikir yang berbeda. Itu sudah menjadi risiko PSSI sejak awal.
Bicara proses dan prestasi, ada dua kacamata yang selama ini jadi perspektif. Pertama, Timnas (senior) tak butuh proses, karena proses itu bicara pemain usia muda. Kedua proses adalah jalan sukses jangka panjang.
Sukses timnas Vietnam di kawasan Asia Tenggara saat ini merupakan bukti buah dari proses membangun dari tim usia muda ke senior. Namun, pihak lain akan mengambil contoh sukses Thailand bersama Alexandre Polking yang langsung juara AFF meski belum genap dua bulan bersama The Elephant War. Meski kita tidak bisa menutup mata Thailand punya kompetisi yang jauh lebih superior dibanding Liga 1.
![]() |
Lantas proses seperti apa yang dibutuhkan Timnas Indonesia untuk juara? Perbaikan kompetisi dulu, penanaman filosofi dan mentalitas dulu, atau perbanyak naturalisasi?
PSSI dan Shin sama-sama ingin jalan sulap, jalan pintas. PSSI menginginkan Shin memberi prestasi, tapi lupa bahwa kompetisi dalam negeri masih bermasalah secara kualitas. Bahwa kompetisi baru berjalan 3 bulan sebelum Piala AFF 2020 dimulai setelah lebih dari 1 tahun berhenti.
Shin juga menginginkan jalan pintas dengan membuka keran naturalisasi pemain lewat jalur pemain keturunan. Shin menilai Indonesia butuh pemain kunci di beberapa posisi. Haruna tak setuju, tetapi PSSI akomodir keinginan Shin. Ini cara sulap Shin.