Jakarta, CNN Indonesia --
Pelatih Manchester United Erik ten Hag dalam wawancara resmi pertama menilai era Manchester City dan Liverpool bisa berakhir.
"Pada saat ini saya mengagumi mereka. Saya mengagumi mereka berdua. Permainan mereka, pada saat ini, sepak bola yang sangat fantastis, baik Liverpool maupun Manchester City," ujar Ten Hag dikutip dari situs resmi MU.
"Tetapi Anda akan selalu melihat bahwa sebuah era bisa berakhir. Saya tak sabar untuk bertarung dengan mereka dan saya yakin semua klub lain di Liga Inggris ingin melakukan itu," ucap Ten Hag menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu jadi cara Ten Hag menjawab soal pertanyaan tentang tidak ada tim atau pelatih yang akan juara Liga Inggris selama era Pep Guardiola dan Jurgen Klopp masih ada.
Secara tersirat jawab Ten Hag mengembalikan ingatan hampir 10 tahun lalu ketika era kejayaan Man United bersama Sir Alex Ferguson berakhir.
Man Utd langsung puasa gelar Premier League ketika Alex Ferguson lengser usai juara Liga Inggris msuim 2012/2013. Tujuh pelatih berganti, termasuk caretaker, namun tidak ada yang mampu membawa MU juara liga.
 Man Utd memiliki masalah kompleks pada musim ini. (REUTERS/DAVID KLEIN) |
Berbicara trofi hanya Jose Mourinho yang memberikan banyak gelar untuk Man Utd: Liga Europa dan Piala Liga Inggris 2016/2017 plus Community Shield. Sejak 2017/2018 hingga kini, MU puasa trofi.
Dalam sembilan musim terakhir Man City mendominasi Premier League dengan meraih lima gelar juara, empat di antaranya 'disikat' Pep Guardiola yang gabung The Citizens sejak 2016.
Empat gelar lain terbagi untuk Leicester City, Chelsea, dan Liverpool. The Blues meraih dua gelar: 2014/2015 dan 2016/2017.
Tetapi dalam lima musim belakangan, persaingan Man City dan Liverpool begitu sengit. Musim 2018/2019 dan 2021/2022 berlangsung ketat hingga pertandingan terakhir.
 Tantangan MU mengakhiri era Man City dan Liverpool begitu berat. (REUTERS/TONY OBRIEN) |
Ketika Man City dan Liverpool asyik mendominasi Premier League, Man United dalam kondisi sebaliknya, terpuruk, bahkan hancur habis-habisan.
Man Utd bukan saja gagal meraih trofi pada musim ini, namun juga mencatatkan rekor terburuk selama di Premier League. Mengoleksi 58 poin dalam 38 pertandingan adalah yang terburuk bagi MU.
Sebelum itu rekor terburuk Setan Merah adalah musim 2013/2014 dengan 64 poin. Musim itu tepat setelah MU tidak lagi dilatih Alex Ferguson.
Dengan kondisi mental yang tengah terpuruk saat ini, tidak terbayangkan bagaimana cara Man Utd bangkit bersaing dengan Man City serta Liverpool di musim depan.
Dalam 18 pertemuan masing-masing dengan Man City dan Liverpool sejak 2013/2014, rapor MU terbilang mengkhawatirkan. Hanya menang enam kali lawan Man City di Liga Inggris dan lima kali atas Liverpool.
Ditambah lagi kondisi internal atau ruang ganti pemain Man United juga panas, sedangkan Man City dan Liverpool sedang stabil dalam beberapa musim belakangan. Tanpa skuad yang harmonis, kemustahilan mengakhiri era Man City dan Liverpool akan nyata.
Kiper David de Gea yang berasal dari internal MU sendiri baru-baru ini terang-terangan mengatakan akan logis bagi Erik ten Hag membuat tim ini kembali kuat dalam beberapa musim ke depan, tidak musim depan.
Ten Hag memang tidak bicara soal waktu untuk mengakhiri dominasi The Citizens dan The Reds, tetapi upaya itu tidak boleh lama.
Dengan Man Utd yang pernah berjaya pada awal era Premier League, sudah selayaknya tempatnya adalah bersaing dalam gelar juara, bukan lagi membidik tiket Liga Champions.
Hanya saja bersaing dalam perebutan gelar juara dengan Man City dan Liverpool akan berat untuk Ten Hag pada musim depan dengan kondisi 'Skuad Old Trafford' yang porak-poranda dan banyak pemain akan hengkang.
Baca kelanjutan berita ini pada halaman berikutnya>>>
Liverpool dan Leicester City bisa memberikan contoh yang bagus untuk Manchester United pada musim 2022/2023.
The Reds menunjukkan buah kesabaran dari proses yang matang sedangkan The Foxes menampilkan soliditas dan efektivitas.
Tidak akan ada yang menyangka Leicester, yang baru promosi ke Premier League 2014/2015, langsung juara pada musim 2015/2016.
Tidak tanggung-tanggung, Leicester juara dengan selisih 10 poin atas Arsenal. Selisih itu menunjukkan Leicester tim yang tangguh pada musim tersebut.
Man Utd yang pada musim ini tersiar tengah luluh lantak bisa meniru langkah-langkah tersebut. Dan tidak perlu malu sekalipun harus menyontek Liverpool, rival abadi di Liga Inggris.
Pada musim kedua atau musim penuh pertama di Liverpool, 2016/2017, Jurgen Klopp melakukan perombakan besar dengan melepas sejumlah pemain yang pernah jadi pilar The Reds: Joe Allen, Christian Benteke, Martin Skrtel, termasuk Mario Balotelli.
Perekrutan Klopp kala itu dengan pendanaan yang tidak besar terbilang efektif: Sadio Mane, Joel Matip, Georginio Wijnaldum. Dua pemain pertama adalah andalan Liverpool hingga saat ini.
 Leicester adalah bukti efektivitas yang berkolaborasi dengan keberuntungan pada 2015/2016. (Reuters/PAUL CHILDS) |
Musim-musim berikutnya Klopp mulai melengkapi kepingan-kepingan di skuad Liverpool dengan Andrew Robertson, menjual Philippe Coutinho untuk membeli Virgil van Dijk dan Alisson Becker, serta perekrutan lain.
Hasilnya selama enam setengah tahun terakhir Liverpool bisa kembali juara Liga Inggris, Liga Champions, Piala Dunia Antarklub dan gelar domestik lain.
Anggaplah musim ini skuad Man Utd sama dengan Liverpool yang dimiliki Klopp pada separuh musim 2015/2016 saat pertama datang ke Anfield.
Perombakan akan dilakukan Ten Hag karena kontrak sejumlah pemain habis akhir musim ini, dan sebagian lain ingin pergi dari Old Trafford.
Caretaker Ralf Rangnick sudah memberikan jalan lewat beberapa pemain muda yang bisa diandalkan: Anthony Elanga dan Hannibal Mejbri. Ten Hag juga punya potensi mempromosikan pemain muda lain dari akademi Man Utd.
Apabila memilih jalan Liverpool di atas, MU harus siap bersabar lagi untuk belum tentu juara. Karna Klopp sendiri baru menuai hasil pada musim penuh ketiga atau setelah tiga setengah tahun direkrut dengan juara Liga Inggris 2018/2019.
 Jurgen Klopp dan Liverpool melalui proses yang tidak instan. (REUTERS/PHIL NOBLE) |
Pada musim pertama Klopp runner up Piala Liga Inggris dan Liga Europa 2015/2016, tanpa hasil bagus di 2016/2017, lalu runner up Liga Champions 2017/2018.
Atau jika ingin sedikit beruntung bisa meniru jalan Leicester City ketika juara Premier League 2015/2016. Dengan perekrutan dan taktik yang tepat, Leicester yang ketika itu dilatih Claudio Ranier jadi tim yang begitu mengejutkan.
Pembenahan di lini pertahanan bisa jadi salah satu fokus Ten Hag dalam masalah starter. Dilanjutkan ke sektor gelandang bertahan, hingga menguatkan serangan The Red Devils.
Perekrutan ini tidak harus dengan biaya transfer yang besar. Ten Hag hanya perlu mengerahkan pemandu-pemandu bakat dalam mencari 'pemain gratis' yang akan cocok untuk gaya bermainnya.
Pada 2015/2016 atau semusim setelah promosi dari Divisi Championship The Foxes punya serangan yang impresif di Premier League lewat Jamie Vardy sebagai andalan di lini depan. Kontribusi Vardy tidak lepas dari peran kedua sayap: Riyad Mahrez dan Marc Albrighton.
Dalam menangkal serangan sebelum masuk ke pertahanan, Leicester punya N'Golo Kante yang juga pemain baru di musim 2015/2016. Sedangkan bek Robert Huth jadi palang pintu yang membantu gawang Kasper Schmeichel tidak banyak dibobol lawan.
Sekalipun ditinggal banyak pemain pada musim depan, Ten Hag tidak perlu khawatir karena masih punya sejumlah bintang yang bisa diandalkan macam David de Gea, Raphael Varane, Jadon Sancho, Bruno Fernandes, hingga Cristiano Ronaldo jika tetap bertahan di Old Trafford.
Dalam skuad tersisa itu pelatih asal Belanda tersebut hanya perlu menyeleksi mana saja pemain yang tetap setia dengan dengan Man Utd dan ingin ikut aturan main yang dimilikinya.
Persoalan utama Ten Hag saat ini, menurut media-media Inggris, adalah ego dari para bintang Man United itu sendiri. Sehingga timbul situasi yang tidak harmonis di ruang ganti, dan berdampak pada permainan di lapangan.
Setelah masalah ego teratasi, giliran Ten Hag mencocokkan mana saja pemain yang akan 'klik' dengan taktiknya. Yang tidak cocok bisa dijadikan pelapis atau dijual pada bursa trasnfer tengah musim guna mendatangkan pemain yang pas.
Memperbaiki kinerja dan permainan Man Utd di lapangan pada musim depan bisa jadi target realistis Ten Hag di tengah keterpurukan saat ini. Kalaupun sampai bisa bersaing juara dan mengangkat trofi, anggaplah sebagai keajaiban atau mukjizat.
[Gambas:Video CNN]