Jakarta, CNN Indonesia --
Cerita saya berangkat ke Olimpiade 2012 di London itu sebenarnya sudah banyak persoalan sejak awal, termasuk saat masih di Indonesia, di Jakarta.
Waktu ingin memutuskan siapa atlet putri yang berangkat ke London, PB PABBSI melarang saya berangkat. Yang diminta berangkat dari PB itu atlet asal Bali, Sinta Darmariani.
Dua bulan sebelum ke London itu saya setiap hari dicecar oleh pengurus dengan kata-kata yang luar biasa, seperti diteror. Waktu itu saya dibantu Pak Imron [Rosadi] dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PB ingin berangkatkan Sinta yang kelasnya di atas saya, tetapi secara peringkat saya lebih baik dari dia. Kami ini beda kelas.
Alasan PB tidak ingin saya berangkat karena khawatir saya bermasalah saat bertanding di Olimpiade 2012. Karena dulu saya ada cedera di leher, jadi setiap pertandingan itu kaya bocor keluar darah gitu.
Jadi seperti setiap clean and jerk, setiap besi menempel di leher saya, langsung kayak blackout kaya kejang-kejang. Takutnya karena bawa nama Indonesia dan karena saya sering blackout itu makanya dilarang ke London.
Kami dari dulu atlet Lampung itu memang selalu dicekal. Makanya kami tidak pernah pemusatan latihan di pelatnas di Jakarta. Selalu di Lampung saja. Kalau tidak mau diberangkatkan ya sudah.
Untuk buktikan saya tidak layak berangkat saja harus dicek MRI. Tapi alhamdulillah, setelah dicek kesehatan, semuanya bagus.
 Citra Febrianti resmi naik peringkat pada 2020, atau delapan tahun usai Olimpiade 2012. (Arsip Kemenpora) |
Jadi waktu itu, kita ini sebagai atlet bukannya persiapan Olimpiade untuk tanding, malah harus urus masalah ini masalah itu. Ingin bertanding saja kok mental kita ditekan seperti ini.
Akhirnya tetap diberangkatkan, tapi sampai London ya dipermasalahkan lagi. Satu hari sebelum bertanding, Pak Lukman sebagai manajer meminta pelatih saya Pak Edi Santoso membuat surat pernyataan, yang isinya siap bertanggung jawab kalau saya kenapa-kenapa saat bertanding.
"Jika saya dimainkan, jika misalnya terjadi apa-apa pada diri saya semua itu dijatuhkan ke Pak Edi Santoso," begitu kira-kira isi pernyataannya.
Marahlah Pak Edi. Langsung minta pulang ke Indonesia saat itu juga kalau dipaksa tanda tangan. Kata Pak Edi semua itu urusan Tuhan. Kok Olimpiade harus ada ancaman dan buat surat pernyataan semacam itu.
Saya juga tidak tahu kenapa akhirnya tetap didaftarkan. Saya dan Sinta tetap berangkat ke London dan didaftarkan. Tetapi besoknya ingin bertanding, hari ini kami berdua dites dahulu.
Saya dan Sinta dites untuk penentuan di tempat pemanasan. Waktu itu semuanya menyaksikan, ada tentara, pokoknya kaya anggota berseragam begitulah, ada tim medis, ada tim dokter.
Akhirnya saya bisa mengangkat maksimal dan enggak kejadian apa-apa. Sinta akhirnya makin lama makin drop, karena Sinta itu tidak ingin berangkat, tapi dipaksa.
Sinta udah bilang sama Ketua PB, "Saya tidak mau berangkat karena merasa enggak mau merampas hak orang". Makanya di London itu Sinta beban mental juga dia.
Kami ini jadi atlet kasihan sekali, sedih sekali, bawa nama negara sampai begitu dramanya. Sinta itu menangis di kamar mandi, teriak-teriak, karena saya yang terpilih.
Kami akhirnya menghabiskan waktu pelukan di kamar mandi. Sinta lalu titip pesan ke saya, "Kamu bisa, kamu bisa buktiin ke mereka, kamu bisa berikan yang terbaik". Saya cuma bisa terima kasih Sinta.
Saat bertanding saya cuma bisa dengar suara dari atlet-atlet Indonesia saja. Ketika di panggung cuma wajah pengurus-pengurus itu, yang menolak saya bertanding. Orang-orang itu duduknya tepat di depan saya, amarah saya meledak waktu itu.
Di sana yang cuma saya rasakan rasa semangat yang lebih besar dari rasa marah saya. Ingin saya tunjukkan, bahwa saya itu bisa. Kalian bilang saya enggak bisa, saya itu buruk, saya ingin tunjukkan kalau saya bisa.
Saya lupa nama-nama pengurus itu, tapi ingat mukanya. Itu karena pengaruh obat penghilang rasa sakit. Obat penghilang rasa sakit itu berpengaruh ke syaraf. Apalagi kalau diminum melebihi dosis, kalau lagi sakit luar biasa, kan kita minumnya juga harus banyak.
Karena saya sering sakit, jadi sering lupa. Saya sering seperti terkena amnesia, apa yang saya lakukan lupa, nama orang pun lupa.
Alhamdulillah angkatan saya itu melebihi saat latihan. Saya cetak rekor. Itu yang luar biasa.
Waktu di London itu saya cuma satu kali gagal. Rekor saya snatch itu cuma 90kg saat latihan di padepokan, saat pertandingan biasa bisa angkat 88kg.
Jadi di London itu rekor terbaik saya, angkatan saya 91kg dan clean and jerk 115kg, jadi totalnya itu 206kg. Saya gagal di angkatan ketiga, waktu angkat 93kg apa berapa pokoknya di atas 91kg.
Saat final penentuan medali saya di urutan keempat, jadi setelah selesai bertanding saya pulang, tidak tahu hasil angkatan yang lain.
Begitu sampai di athlete village, saya ditelepon, "Citra kamu naik peringkat", saya bilang alhamdulillah. Pak Hadi Wihardja juga ucapkan selamat, saya enggak percaya waktu itu.
Pas masih di London itu senang banget dengar kabar naik peringkat, karena kan saya satu-satunya atlet wanita di kontingen Indonesia, yang lainnya laki-laki.
Maka dari itu, bagaimana saya enggak berjuang mati-matian untuk ikut Olimpiade meski diadu sama Sinta. Olimpiade itu impian bagi atlet.
Jadi kabarnya lifter Moldova itu (Cristina Lovu) tidak mau dites doping. Dia memilih kabur, meski katanya dikejar. Dia konsumsi steroid itu malam hari sebelum bertanding. Yang peraih emas di kelas saya dari Kazakhstan (Zulfiya Chinshanlo) ternyata doping juga.
Nah yang awalnya meraih perak si atlet dari Taiwan (Hsu Shu Ching) katanya sih pakai doping juga, cuma dosisnya tidak melebihi standar.
Waktu sampai di Indonesia itu saya menunggu kabar. Menunggu, ditunggu sekian tahun kok enggak ada kabarnya. Saya sampai tanya juga ke senior saya (Lisa Rumbewas) yang alami kayak begitu.
Baca kelanjutan berita ini pada halaman berikutnya>>>
Setelah bertahun-tahun menunggu akhirnya sekitar tahun 2016 ada kabar kenaikan peringkat dari Olimpiade 2012. Pertama-tama teman ucapkan selamat ke saya, saya disuruh buka Facebook.
Pak Hadi Wihardja juga ucapkan selamat untuk penambahan medali. Saya percaya enggak percaya, karena pada berikan selamat di media sosial.
Lalu tidak berselang lama ada acara di rumah Pak Imron Rosadi. Waktu itu ulang tahun pernikahan yang 'gold'. Para pengurus PB datang, saya datang juga.
Di sana saya tanyakan ke Pak Alamsyah, mantan manajer. Katanya, "Oh iya benar kamu peringkatnya dinaikkan, tapi belum tahu kabar resminya."
Kata dia baru dengar-dengar saja. Saya disuruh tunggu, ya sudah ditunggu. Sampai akhir 2019 saya tanya lagi ke PB, saya sampai bicara ke media, katanya ada kenaikan peringkat kok sampai saat itu tidak ada kabar sedikit pun, semua diam.
Kemudian pada 2020 saya nekat, karena ekonomi mendesak dan virus corona juga lagi tinggi-tingginya. Kalau memang medali Olimpiade 2012 ini ada rezeki buat saya, ya saya mau juga seperti teman-teman mendapat bonusnya.
Awalnya saya minta tolong ke padepokan Gajah Lampung, tapi padepokan tidak mau bantu karena takutnya mereka dianggap kompor-komporin saya untuk naik peringkat.
Saya berusaha sendiri datang ke Jakarta. Sampai Jakarta bingung sama sekali harus ke mana. Pertama ke PB, kata Pak Djoko Pramono harus tunggu.
Kata dia kalau urusan begitu bisa 10 tahun seperti Lisa Rumbewas. "Si Lisa itu nunggu 10 tahun baru bisa gol," kata dia begitu.
Ya saya nurut aja nunggu-nunggu, lalu pulang. Setelah itu saya ke Jakarta lagi. Saya ke Jakarta bolak-balik beberapa kali.
Pernah juga disarankan bertemu Ketua Asosiasi Olympian Indonesia Mbak Yayuk Basuki. Dibantu sama Cik Ling Ling [Agustin, mantan atlet tenis meja], tapi tidak ada hasilnya. Saya dan Cik Ling Ling di depan rumahnya. Kata Cik Ling Ling memang enggak mau ditemui.
 Citra Febrianti 'dipingpong' sebelum dapat bonus perak Olimpiade 2012. (Arsip Kemenpora) |
Indonesia kok begini banget ke atlet yang dulunya mati-matian untuk mencapai prestasi, sampai cedera. Saya sampai cedera apa diurusi sama Indonesia? Tidak sama sekali.
Lalu saya juga tanya ke Pak Djoko, kata Pak Djoko sudah menyurati KOI, tapi belum ada kejelasan dari KOI. Pokoknya yang pertama Pak Djoko bilang itu "Saya sudah menyurati, saya sudah bilang ke KOI, menyampaikan berita ini bahwa kamu dapat kenaikan peringkat, tapi belum ada jawaban dari KOI."
Akhirnya saya nekat ke KOI. Saya bertemu sama Pak Wijaya (Noeradi, Wasekjen KOI). Saya ngomong terus terang, katanya KOI sudah disurati sama PB, tapi kok tidak ada kejelasannya.
Langsung Pak Wijaya bilang, "Belum pernah ada Mba surat yang bilang penambahan medali". Lah saya kagetnya luar biasa di situ, saya mati-matian tunggu bertahun-tahun.
Saya butuh memang (bonus Olimpiade 2012). Saya keluar dari angkat besi itu enggak dapat apa-apa, yang saya dapat malah cedera.
Cedera saya itu didapat dari awal ikut angkat besi. Awal mula tertarik sekitar usia 9 atau 10 tahun. Ada teman yang bilang "Ayo ikut angkat besi, nanti dikasih makan enak, ayam goreng."
Namanya akan kecil di kampung senang sekali dengar bisa makan ayam goreng. Datanglah kami ke tempat latihan, malah bertemu anjing besar.
Dikejar kami dan lari kencang. Ada yang bilang kalau kami ketangkap sama penjaga tempat latihan itu, kami akan dipotong-potong dan dijadikan makanan anjing. Setelah itu kapok datang ke sana.
Lalu waktu pertama masuk SMP sekitar umur 12 tahun. Asisten Pak Imron datang ke sekolah mencari atlet-atlet baru. Setelah dites di sekolah saya dianggap bagus, posisi kaki dan punya power. Boleh daftar di padepokan.
Satu minggu baru latihan saya dapat gaji Rp2.500 karena angkatan saya bagu. Bisa tambah angkata, gaji saya naik Rp5.000. Setiap kali angkatan bertambah, gaji saya dinaikkan.
Yang namanya masih remaja itu kan nilai angkatan bisa naik dan turun dengan drastis. Persaingannya ketat sekali. Kamis ebagai atlet tidak bisa istirahat terlalu lama.
Suatu ketika saya ingin menghadapi kejuaraan, saya ingin buat rekor baru di snatch saat latihan di padepokan. Begitu angkat, besi itu tidak naik ke atas, malah menimpa leher dan menggilas tulang ekor.
Posisi saya jatuh tengkurap, dan besi ada di atas saya. Tidak bisa berdiri, saya, setiap kali mencoba duduk saya selalu nangis.
Lalu di bawa ke tukang pijat yang tahu tulang. Katanya tulang saya bengkok. Habis itu saya tidak latihan beberap minggu. Untuk terapi saya bergelantungan, lalu ada orang-orang yang beratnya lebih dari saya menggelayuti saya.
Mereka begitu biar tulang saya lurus lagi. Tapi ternyata itu yang membuat tulang saya tambah renggang karena sering digelantungin. Setelah itu enggak ada penanganan medis lain, cuma minum obat dan pijat.
Cedera itu kambuhan, suka parah juga. Mau buka celana saja enggak bisa. Saya pun harus tidur berbulan-bulan tanpa alas, tidurnya di papan.
Pernah saat ingin kejuaraan di Antayla, Turki, saya sakit tifus. Sedang kena tifus dapat ancaman dari Pak Imron, kalau saya tidak bisa akan digantikan orang lain. Ketika tes tetap saya paksakan, alhamdulillah lulus tes.
Cedera itu makin parah saat mau Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan. Waktu mau berangkat ke Incheon itu saya sudah bilang ke Pak Imron, 'Ini saya serahkan tiket sama uang saku, saya tidak ingin berangkat'.
Saya bilang, saya gak sanggup, karena posisi saya makin lama parah luar biasa. Kalau sudah jongkok mau bangun itu enggak bisa. Yang memaksa saya berangkat itu Pak Imron, karena enggak ada lagi atlet lain di kelas 53kg, karena peringkat saya masih lebih bagus.
Pak Imron cuma bilang, 'Kamu percaya Tuhan gak? Kalau kamu percaya sama Tuhan kamu berangkatlah, serahkan semuanya sama Tuhan,' katanya begitu.
Enggak tahunya setelah datang ke sana, saya setiap hari datang ke medical, ke dokter mesti pasang taping. Jadi buka pasang, buka pasang lagi, sampai kulit saya luka-luka.
Taping itu kan lengket sekali, klo dibuka sakitnya luar biasa, saya sampai nangis-nangis. Sampai Sinta melihat saya, 'Ya ampun badan kamu sampai begini.'
Ya mau bagaimana lagi, kalau enggak pasang taping badan saya tidak bisa tegap. Tulang saya kan sudah copot dari engselnya, jadi kalau dilihat dari rontgen itu di MRI bisa terlihat.
Saat posisi badan saya agak bungkuk, tulang itu kelihatan menonjol, enggak kaya orang normal pada umumnya. Hasilnya di Asian Games 2014 saya enggak bisa mengangkat sama sekali.
Dari sejak saya latihan cuma bisa nangis, sampai semua atlet pada menyaksikan. Ya karena rasanya sudah sakit tapi tetap dipaksakan harus bisa dan harus bisa.
Semasa persiapan saya sudah hancur-hancuran, masih parah-parahnya sakit. Saya dari awal sudah bilang enggak bisa, tapi Pak Imron yakin kalau saya bisa.
Setelah pulang dari Incheon itu saya masih ditelepon untuk ikut kejuaraan. Saya bilang tidak. Saya akhirnya benar-benar berhenti setelah mengunjungi dokter di Malaysia.
Setelah dirontgen itu terlihat dua tulang lumbal saya patah. Kata dokter, kalau terlambat saja saya datang bisa lumpuh. Akhirnya saya dilarang mengangkat beban lebih dari 5kg, atau nanti bisa lebih parah.
Makanya kalau melihat atlet-atlet yang sekarang itu luar biasa banget. Bonusnya masyaAllah, pengorbanannya beda banget sama yang senior-senior.
[Gambas:Video CNN]