-- Mengulas keragaman budaya, sampai lokasi wisata di Timur Indonesia memang belum ada habisnya. Mulai dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi, hingga Papua.
Seluruh keindahan dan keragaman yang disajikan pada masing-masing daerah, masih menyatu dan menjadi tanda tanya bagi setiap orang untuk terus ditelusuri. Salah satu yang menarik, yaitu Makassar, Sulawesi Selatan.
Terletak di bagian bawah, pulau dengan bentuk menyerupai huruf K itu Makassar tidak bisa dikatakan sebagai kota kecil. Seiring perkembangan zaman, Makassar kini sudah menjadi kota metropolitan terbesar di kawasan Indonesia Timur, dan menjadi kota terbesar di luar Pulau Jawa, setelah Medan, Sumatera Utara.
Melalui Datsun Risers Expedition (DRE) episode kedua, CNNIndonesia.com berkesempatan menikmati keindahan beserta sejarah, di beberapa kawasan pada provinsi kelahiran Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) itu.
Bersama rombongan, CNNIndonesia.com tiba di Bandar Udara Sultan Hasanudin, Makassar, setelah sebelumnya bertolak dari Soekarno-Hatta, Cengkareng. Perjalanan udara, dari Jakarta menuju Makassar memakan waktu sekitar dua jam 30 menit dan setelahnya langsung bergegas menuju penginapan di Makassar.
Terlihat, beberapa sudut kota Makassar selama perjalanan dari bandara menuju penginapan masih banyak dihiasi bangunan tua khas belanda. Seperti halnya di Jakarta, kawasan Kota Tua.
Beruntung, Makassar bersama warganya masih menjaga kotanya agar tetap bersih di tiap sudutnya. Kota yang bersih dan lengangnya suasana jalur ibukota, menjadi sambutan pembuka saat saya menginjakan kaki di Makassar.
Penelusuran akan Makassar dan sekitarnya, baru bisa dilakukan keesokan harinya. Mengingat, bersama rombongan lebih memilih mengisi tenaga untuk memulai perjalanan saat pagi tiba. Tidak beda seperti Jakarta, Makassar juga sedang memasuki musim penghujan.
Perjalanan dimulai, saat waktu memasuki pukul 08.30 waktu setempat. Mencari cerita akan sejarah Sulawsi Selatan, rombongan memilih singgah di Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang.
Saat pertama tiba, kesan arsitektur dari masa kolonial Belanda masih kental terasa pada bangunan gedung tersebut. Ya memang, dahulunya Fort Rotterdam memang digunakan sebagai pemerintahan kala itu. Kini, fungsinya lebih kepada lokasi wisata dan museum benda bersejarah di sana, baik untuk turis mancanegara maupun lokal.
Ada beberapa bangunan yang berdiri terpisah dan biasanya terdiri dari dua lantai dengan warna kuning pada lokasi itu.
Pertama masuk, CNNIndonesia.com bersama rombongan DRE 2 langsung diarahkan ke bangunan yang terletak pada sisi kanan selepas lokasi pembayaran tiket. Bangunan tersebut ialah Museum Galigo, di mana kita bisa melihat beberapa benda bersejarah dari masa ke masa mengenai Sulawesi Selatan.
Museum itu mulanya ialah bekas kediaman Gubernur Belanda, Admiral C.J Speelman. Saat pertama dibuka, benda yang dipemerkan diantaranya keramik, piring emas, destrar traditional Sulawesi Selatan dan beberapa mata uang.
Lalu kemudian, menjelang kedatangan Jepang di tanah itu koleksi kian bertambah, diantaranya peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga seperti peralatan dapur tradisional, dan alat kesenian misalnya, kecapi, ganrang bulo, puik-puik dan sebagainya.
Berdasarkan penuturan petugas yang bertugas di sana, Abbas, museum terdiri dari tiga bagian, yakni kerajaan (adat istiadat), pertanian dan maritim. Untuk kerajaan, ada beberapa benda bersejarah yang dipamerkan dalam ruangan-ruangan pameran berpencahayaan redup itu. Mulai dari Kerajaan Luwu, Goa hingga Tanah Toraja.
Namun, benda bersejarah seperti mahkota kerajaan, senjata dan lainnya dari Kerajaan biasanya hanya terdiri dari replika. Sedangkan, aslinya masih berada pada tempat asalnya.
"Untuk benda dari kerajaan memang hanya replika. Aslinya masih di kerajaan masing-masing," kata Abbas.
Menariknya, dari beberapa benda bersejarah, terdapat busana atau penutup dari masyarakat pendahulu di sana. Busana dan penutup itu dipergunakan untuk anak-anak selepas sunat. Tidak hanya laki-laki, kata Abbas, anak perempuan juga disunat serta diberikan busana khusus.
Anak perempuan akan dikenakan busana berlapis-lapis penuh warna. Untuk lelaki, hanya diberi penutup yang terbuat dari bahan seperti kayu, tembaga hingga emas. Menurut Abbas, perbedaan bahas penutup akan menandakan kondisi ekonomi dari anak lelaki tersebut.
"Strata sosial bisa dilihat, dari bahan penutupnya," ujarnya.
Selain itu sejarah kapal layar asal Indonesia dari suku Bugis dan Suku Makassar, Pinisi, seakan melengkapi penelusuran sejarah Sulawesi Selatan pada museum tersebut yang terkenal dengan selogannya "Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut ke Pantai," atau lebih baik tenggelam daripada kembali pulang.
Mulai dari Lapa-Lapa, kapal pertama tanpa layar serta penyeimbang, satu penyeimbang, bagang perahu atau kapal penangkap ikan hingga Pinisi.
Berdekatan dengan museum, terdapat juga bangunan yang dulunya merupakan ruang tahanan Pangeran Diponegoro. Namun, pengunjung hanya bisa melihat sedikit isi tahanan dari luar, karena pintu masuk dalam keadaan terkunci.
Meski tidak dipungut biaya untuk masuk ke kawasan Port Rotterdam, saat masuk ke museum pengunjung akan dikenakan Rp5 ribu untuk dewas, anak-anak Rp3, sedangkan mancanegara Rp10 ribu per orang.
Puas menyusuri sejarah Sulawesi Selatan, rombongan-pun bergegas menuju sebuah ruangan yang letaknya masih dalam area Fort Rotterdam.
Pada ruangan tersebut, CNNIndonesia.com dan rombongan DRE 2 disuguhi beberapa karya lukisan berbahan tanah liat karya dari Zaenal Beta, biasa dikenal Daeng Beta. Karya yang disugukan, diantaranya menceritakan tentang keindahan dan sejarah Sulawesi Selatan, salah satunya Pinisi.
Beta merupakan seniman pertama yang menemukan lukisan menggunakan bahan dari tanah liat. Ia biasa melumurkan tanah liat dan mulai menjadikannya gambar tidak pada kanvas, melainkan bahan berbentuk triplek halus berwarna putih. Selain dengan campuran air, ia juga kerap menggunakan potongan kayu kecil berujung runcing untuk membuat detail lukisan.
CNNIndonesia.com, juga sempat menjajal bagaimana sensasi melukis menggunakan tanah liat. Pada latar triplek berukuran A3, CNNIndonesia.com berusaha membuat lukisan wajah dari mantan gitaris Guns and Roses, Slash. Walau hasilnya sama sekali tidak memuaskan.
Setelah puas menjajal, Beta sempat bercerita, bahwa trik melukis di tanah liat pertama ditemukannya saat usia memasuki 20 tahun. Saat itu ada secarik kertas yang tercebut dalam lumpur, dan setelah dibersihkan dapat dibuat gambar rumah-rumah adat di Makassar.
Tidak jarang karyanya sudah menjadi langganan, para pejabat di dalam negeri, seperti Gubernur Sulawesi Selatan Yasin Limpo, Guruh Soekarno Putra dan beserta pejabat lainnya. Ia berharap, suatu saat Presiden Joko Widodo dan Wakilnya, JK dapat menyempatkan diri untuk melihat karya serta membelinya.
Melalui karyanya, Beta berharap dapat menggelar pameran di mancanegara setelah dikenal luas di dalam negeri pada usianya yang sudah memasuki senja. Selain mengumpulkan tanah liat dari seluruh penjuru tanah air sebagai bahan baku lukisan.
Bersama dengan karyanya, Beta juga memperoleh sebutan Proffesor dari pelukis ternama, Avvandi pada 1980-an silam dan diakui oleh beberapa universitas ternama di luar negeri.
"Saya seorang doktor, tetapi kamu adalah profersor. Karena kamu (Beta) telah menemukan trik baru," ucap Beta menirukan perkataan Avvandi saat itu.
Puas menggali sejarah di Port Rotterdam, CNNIndonesia.com bersama rombongan bergegas menuju lokasi wisata di daerah Kabupaten Maros. CNNIndonesia.com melaju menggunakan Datsun Go.
Perjalanan tidak membutuhkan waktu lama, dengan sedikit masuk ke jalur bebas hambatan (tol) dan suasana jalan yang lengang, tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai Maros. Sekejap, pusat kota berganti dengan keindahan alam khas pedesaan. Memasuki waktu makan siang, tim sudah tiba di lokasi tujuan kawasan wisata alam Rammang-Rammang, Taman Batu Kampung Laku, Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Dari jalan besar, ke pintu masuk Rammang-Rammang membutuhkan waktu sekitar 45 menit, belum ditambah perjalanan di sungai. Harap hati-hati jika memakai kendaraan roda empat, jalur yang disediakan hanya bermuatan satu kendaraan, jika terdapat lawan harus bergantian.
Saat pertama memasuki kawasan tersebut, sepintas Rammang-Rammang terlihat seperti lokasi persembunyian Kong, dalam film Kong Skull Island yang belum lama dirilis. Batu-batu besar terungguk setinggi bukit, mempertegas kemiripan tersebut.
Perjalanan berlanjut, dari darat dengan menggunakan perahu kayu kecil untuk sampai ke Rammang-Rammang. Tetapi sebelumnya, menyempatkan diri singgah menuju kedai untuk sekedar mengisi perut dengan menggunakan perahu, tidak jauh dari kami memarkirkan kendaraan.
Sembari menunggu sajian makan siang, ada baiknya melihat beberapa keindahan di lokasi sekitar kedai. Sangat disarankan, untuk mengabadikan moment-moment terbaik atau berselfie ria melalui jepretan kamera dengan latar bukit batu beserta beberapa tempat penginapan khas Sulawesi Selatan.
Ikan kakap bakar, udang bakar, pergedel jagung, kerupuk dan sambal menjadi menu sebagai pengganjal di siang hari.
Tenaga kembali terisi, rombongan kembali naik ke atas kapal dengan tujuan Rammang-Rammang. Sedikitnya pengunjung wajib merogoh kocek sebesar Rp250 ribu untuk satu kali perjalanan menikmati keindahan di sepanjang aliran Sungai Pute, menuju Rammang-Rammang.
Ya, hanya kekaguman yang bisa dirasakan saat berjalan menyisir sungai. Aliran sungai menuju Rammang-Rammang, pada sisi kanan dan kiri lebat ditumbuhi oleh Pohon Nipah, yang buahnya biasa digunakan sebagai bahan baku pembuat tuak.
Jangan sekali-kali memejamkan mata bila berkunjung pada lokasi tersebut. Selain dikeliling oleh indahnya bukit batu, terdapat juga beberapa terowongan dari batu sebagai spot lain untuk mengabadikan gambar di atas perahu kayu.
Tidak terasa, perjalanan terhenti pada dermaga ramang-ramang. Pada lokasi ini memang terlihat lebih terawat, karena sudah terdapat jalur setapak untuk mengunjungi bukit-bukit batu dan tidak lagi ditumbuhi semak-belukar. Pusat Rammang-Rammang kini di kelola oleh warga lokal desa tersebut.
Pengelola Rammang-Rammang, Maudu mengatakan lokasi tersebut baru muncul ke permukaan sekitar 2015 silam serta mendapat perhatian dari masyarakat hingga pemerintah di tahun lalu.
Ternyata ada kisah di balik munculnya Rammang-Rammang. Maudu bercerita, dahulunya lokasi tersebut ialah lautan lepas yang mana kini sudah berubah menjadi pemukiman penduduk. Cerita tersebut cukup masuk akal, mengingat batu-batu berbukitan ternyata adalah karang. Percaya tidak percaya, itulah cerita rakyat.
"Ini dulunya air (laut)," kata Maudu.
Kata dia, dirinya yang pertama memulai membersihkan kawasan tersebut dari semak-semak yang menimbun bebatuan. Upanya dimulai sejak 1983. Belum bisa dibayangkan keindahannya kelak, jika pembenahan dilakukan secara menyeluruh.
Lahan Rammang-Rammang juga berstatus milik warga lokal bahkan, Maudu merupakan warga dengan pemilik lahan terluas.
"Tahun 1983 masih banyak pohon. Pas dibersiin jadi tambang batu," ujarnya.
Uniknya, Sungai Pute memiliki air payau. Maudu berujar, air sungai akan terasa lebih asin jika musim memasuki kemarau. Ia berujar, bahwa memang hulu sungai tersebut masih menyatu dengan laut.
Untuk masuk ke pusat dari Rammang-Rammang, pengunjung tidak akan diberi patokan harga masuk. Biaya masuk lebih diserahkan kepada pengunjung, tanpa ada patokan harga. "Ya seikhlasnya aja," kata dia.
Meski begitu, nampaknya peran pemerintah dalam mengelola lahan tersebut bisa sangat diperlukan. Tujuannya, tidak lain ialah mencegah adanya perebutan lahan secara perlahan dari pihak lain untuk kepentingan pribadi yang dapat mengikis keindahan Rammang-Rammang.
Pasalnya, terdapat beberapa pabrik semen berdekatan dengan lokasi tersebut dan tentunya memungkinkan, menjadikan batu-batu Rammang-Rammang sebagai bahan baku pembuatan semen. Apalagi pabrik sudah mulai terlihat menggali perbukitan di sekitar Rammang-Rammang untuk mencari material hasil produksinya.
Masih di Kabupaten Maros, CNNIndonesia.com dan DRE 2 kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini Taman Nasional Bantimurung Balusaraung menjadi destinasi berikutnya di hari yang sama. Sedikitnya, dengan mobil perjalanan akan memakan waktu 30-45 menit.
Saat tiba di sana, waktu sudah mendekati senja. Tentunya, setelah memarkirkan kendaraan bersama pemandu rombongan segera masuk ke area taman nasional. Suara burung, jangkrik hingga air terjun seakan-akan bersautan menjadi pengiring saat memasuki pintu masuk.
Taman Nasional Bantimaurung memiliki beberapa spot di dalamnya. Rupanya tertutup oleh pepohonan lebat tidak terbuka seperti Rammang-Rammang. Spot diantaranya, ialah Goa Batu, Air Terjun, Goa Mimpi sampai tempat pengamatan kupu-kupu.
Salah seorang pemandu menjelaskan, bahwa sebetulnya ada banyak satwa yang kerap terlihat menghiasi hutan taman nasional, satwa tersebut seperti kupu-kupu, monyet, kuskus, tarsius sampai cicak terbang. Tetapi, untuk cicak terbang hanya muncul dimusim kemarau.
"Monyet di sini itu tidak ada ekornya. Lalu keliatannya pas musim buah saja," kata dia.
Karena tidak memungkinkan berkeliling ke seluruh spot di Bantimurung, pilihan hanya kepada air terjun dan Goa Batu karena memang mempunyai jalur satu arah. Air terjun pertama ditemukan, sebelum singgah di Goa Batu.
Debit dan arusnya yang besar, menjadikan air terjun hanya dapat dinikmasti pada gazibu yang disediakan oleh pengelola untuk sekedar berfoto. Jika ingin membasahkan badan atau mandi, pengelola menyediakan sebuah muara yang dialiri air terjun.
Lebih lanjut, untuk sampai goa pengunjung dapat meniti anak tangga sejauh lebih kurang 800 meter. Walau menanjak dan melelahkan, pengunjung setidaknya dapat melepas lelah dengan bersantai sejenak pada warung-warung kecil yang berjejer di sepanjang jalur menuju goa sembari menikmati suara air.
Jangan takut tidak membawa alat penerangan untuk menyusuri Goa Batu. Pada pintu masuk goa, terdapat penyewaan senter untuk menemani pengunjung menyaksikan keindahan ornamen goa. Taman tersebut juga menyediakan jasa gaet, yang bersedia memandu dan menjelaskan apapun mengenai lokasi tersebut.
Menurut salah seorang pemandu, Goa Batu sampai sekarang masih suka digunakan oleh sebagian orang untuk bertapa. Beberapa pejabat penegak hukum dengan sejumlah pangkat, serta pejabat lain di tanah air, tercatat kerap mampir ke lokasi tersebut.
Goa tersebut memang tidak terlalu dalam jika ingin mencapai ujung. Pemandu juga sempat menunjukan di mana tepatnya biasa petapa untuk bermeditasi. Yang mana, terdapat lubang setinggi lutut orang dewasa dengan kedalaman hanya cukup dimasuki setengah badan dalam posisi kaki ditekuk.
CNNIndonesia.com, sempat mencoba sensasi menjadi seorang petapa dengan menempati ruangan tersebut.
Nyaman atau tidak, walau tidak terlalu lama berada pada posisi petapa di dalam lubang kecil itu untuk postur tinggi 183 cm dan badan berisi, ternyata cukup nyaman. Padahal, posisi-pun harus dimaksimalkan dengan menekuk kaki, seperti orang berjongkok.
"Mereka biasa melakukannya itu selama 40 hari, 40 malam," katanya.
Pengunjung juga membawa pulang cendera mata. Pedagang akan menjual cendera mata berupa gantungan kunci kupu-kupu kepada para pengunjung. Biasanya menggunakan kupu-kupu mati sebagai gantungan. Harga satu gantungan Rp10 ribu.
Sedangkan, untuk menikmati seluruh spot wisata Bantimurung, pengungjung lokal akan dikenakan Rp25 ribu, sementara wisatawan asing Rp255 ribu.
Tidak lengkap nampaknya jika perjalanan tidak ditutup dengan kuliner khas Makassar. Kedai Coto Gagak, menjadi lokasi terakhir hari ini untuk mencari kudapan sebagai pengisi energi setelah puas berkeliling di sebagaian Sulawesi Selatan.
Berlokasi di Jalan Gagak Nomor 27, Makassar, coto atau soto di sini laris diburu oleh masyarakat Makassar maupun pendatang. Saat CNNIndonesia.com dan rombongan DRE 2 singgah ke sana, memang terlihat kedai ramai dikunjungi.
Terdapat sekitar 10 meja yang disediakan dan diatasnya terdapat kudapan pelengkap, seperti ketupat berukuran mini, sambal khas Makassar, jeruk nipis dan kerupuk.
Tidak sampai 10 menit pesanan coto milik CNNIndonesia.com tiba. Aroma khas dengan kepulan asap, menambah gairah untuk segera mencicipi semangkuk coto dengan irisan daging sapi di dalamnya.
Dalam sekejap, rasa gurih langsung memenuhi mulut saya disuapan pertama. Satu mangkuk coto, dengan dua ketupat beserta satu bungkus kerupuk seakan melengkapi perjalanan. Bila kurang pedas, pengunjung dapat menambahkan sambal yang tersedia di atas meja.