Perjalanan dimulai, saat waktu memasuki pukul 08.30 waktu setempat. Mencari cerita akan sejarah Sulawsi Selatan, rombongan memilih singgah di Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang.
Saat pertama tiba, kesan arsitektur dari masa kolonial Belanda masih kental terasa pada bangunan gedung tersebut. Ya memang, dahulunya Fort Rotterdam memang digunakan sebagai pemerintahan kala itu. Kini, fungsinya lebih kepada lokasi wisata dan museum benda bersejarah di sana, baik untuk turis mancanegara maupun lokal.
Ada beberapa bangunan yang berdiri terpisah dan biasanya terdiri dari dua lantai dengan warna kuning pada lokasi itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama masuk, CNNIndonesia.com bersama rombongan DRE 2 langsung diarahkan ke bangunan yang terletak pada sisi kanan selepas lokasi pembayaran tiket. Bangunan tersebut ialah Museum Galigo, di mana kita bisa melihat beberapa benda bersejarah dari masa ke masa mengenai Sulawesi Selatan.
Museum itu mulanya ialah bekas kediaman Gubernur Belanda, Admiral C.J Speelman. Saat pertama dibuka, benda yang dipemerkan diantaranya keramik, piring emas, destrar traditional Sulawesi Selatan dan beberapa mata uang.
Lalu kemudian, menjelang kedatangan Jepang di tanah itu koleksi kian bertambah, diantaranya peralatan permainan rakyat, peralatan rumah tangga seperti peralatan dapur tradisional, dan alat kesenian misalnya, kecapi, ganrang bulo, puik-puik dan sebagainya.
Berdasarkan penuturan petugas yang bertugas di sana, Abbas, museum terdiri dari tiga bagian, yakni kerajaan (adat istiadat), pertanian dan maritim. Untuk kerajaan, ada beberapa benda bersejarah yang dipamerkan dalam ruangan-ruangan pameran berpencahayaan redup itu. Mulai dari Kerajaan Luwu, Goa hingga Tanah Toraja.
Namun, benda bersejarah seperti mahkota kerajaan, senjata dan lainnya dari Kerajaan biasanya hanya terdiri dari replika. Sedangkan, aslinya masih berada pada tempat asalnya.
"Untuk benda dari kerajaan memang hanya replika. Aslinya masih di kerajaan masing-masing," kata Abbas.
Menariknya, dari beberapa benda bersejarah, terdapat busana atau penutup dari masyarakat pendahulu di sana. Busana dan penutup itu dipergunakan untuk anak-anak selepas sunat. Tidak hanya laki-laki, kata Abbas, anak perempuan juga disunat serta diberikan busana khusus.
Anak perempuan akan dikenakan busana berlapis-lapis penuh warna. Untuk lelaki, hanya diberi penutup yang terbuat dari bahan seperti kayu, tembaga hingga emas. Menurut Abbas, perbedaan bahas penutup akan menandakan kondisi ekonomi dari anak lelaki tersebut.
"Strata sosial bisa dilihat, dari bahan penutupnya," ujarnya.
Selain itu sejarah kapal layar asal Indonesia dari suku Bugis dan Suku Makassar, Pinisi, seakan melengkapi penelusuran sejarah Sulawesi Selatan pada museum tersebut yang terkenal dengan selogannya "Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut ke Pantai," atau lebih baik tenggelam daripada kembali pulang.
Mulai dari Lapa-Lapa, kapal pertama tanpa layar serta penyeimbang, satu penyeimbang, bagang perahu atau kapal penangkap ikan hingga Pinisi.
Berdekatan dengan museum, terdapat juga bangunan yang dulunya merupakan ruang tahanan Pangeran Diponegoro. Namun, pengunjung hanya bisa melihat sedikit isi tahanan dari luar, karena pintu masuk dalam keadaan terkunci.
Meski tidak dipungut biaya untuk masuk ke kawasan Port Rotterdam, saat masuk ke museum pengunjung akan dikenakan Rp5 ribu untuk dewas, anak-anak Rp3, sedangkan mancanegara Rp10 ribu per orang.