Limbah baterai sebagai komponen utama kendaraan listrik dapat menjadi penyebab pencemaran lingkungan serius apabila tidak dikelola baik.
Riset dan studi yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan potensi limbah yang perlu diwaspadai, tidak hanya baterai bekas pakai.
Melainkan juga limbah dari proses produksi baterai, serta limbah dari proses daur ulang baterai yang mengandung logam berat dan bahan kimia berbahaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baterai kendaraan listrik umumnya menggunakan baterai lithium ion (LIB), yang terdiri atas katoda, anoda, elektrolit, separator dan berbagai komponen lainnya.
Beberapa bahan yang digunakan dalam LIB, seperti logam berat dan elektrolit, dapat menimbulkan ancaman bagi ekosistem dan kesehatan manusia.
Jika LIB bekas dibuang begitu saja dan ditimbun dalam jumlah besar, ini dapat menyebabkan infiltrasi logam berat beracun ke dalam air bawah tanah, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Demikian pula jika LIB bekas dibakar sebagai limbah padat, hal tersebut akan menghasilkan sejumlah besar gas beracun, seperti hidrogen fluorida (HF) dari elektrolit di dalam LIB, yang dapat mencemari atmosfer. Oleh karena itu, penanganan limbah dari baterai bekas ini sangat dibutuhkan.
Kepala Pusat Riset Teknologi Transportasi, Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN Dr. Aam Muharam menyampaikan sudah banyak studi kajian tentang kemungkinan baterai bekas pakai digunakan kembali melalui proses daur ulang (recycle).
Limbah baterai biasanya di-grading atau disortir terlebih dahulu, untuk mengetahui kapasitas atau usia baterai relatif terhadap end-of-cycle-nya.
Jika kapasitas baterai di antara 50-80 persen, baterai bekas ini bisa digunakan kembali (reuse) sebagai second life battery.
Second life battery merupakan baterai yang digunakan kembali untuk aplikasi berbeda, seperti untuk energy storage atau stationary use.
Apabila baterai sudah mencapai kapasitas di bawah 50 persen, baterai bisa didaur ulang untuk mendapatkan material berharga dari baterai bekas buat menghasilkan baterai baru.
Daur ulang ulang dapat juga melibatkan penggunaan baterai bekas sebagai bahan baku untuk membuat produk baru yang berbeda dari baterai, seperti pigmen keramik atau logam paduan.
"Baterai bekas hasil daur ulang memerlukan uji atau tes durability ulang seberapa jauh dapat dioperasikan kembali. Harus ada regulasi atau standar yg mengatur terkait hal ini," kata Aam mengutip Antara, Senin (27/2).
Lihat Juga : |
Studi terkait daur ulang limbah baterai di BRIN tersebut dilakukan oleh periset yang tergabung dalam Kelompok Riset Material Berkelanjutan dan Daur Ulang (Sustainable Material & Recycling Group).
Metode yang paling banyak digunakan dalam proses daur ulang baterai adalah metode pirometalurgi dan hidrometalurgi. Masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan tantangannya masing-masing.
Untuk pirometalurgi, prosesnya relatif lebih sederhana karena hanya seperti peleburan logam pada umumnya. Namun demikian, energi yang dibutuhkan sangat besar karena membutuhkan temperatur tinggi pada prosesnya.
Ditambah, kemurnian logam-logam berharga di akhir proses pirometalurgi cenderung kurang baik dan perlu dilakukan pemurnian lagi dengan proses lanjutan.
Sementara itu, metode hidrometalurgi memiliki rangkaian proses lebih kompleks dan panjang. Akan tetapi, logam berharga yang ingin dipulihkan dapat diambil kembali dengan efisiensi ekstraksi yang sangat tinggi.
Salah satu periset Kelompok Riset Material Berkelanjutan dan Daur Ulang, Dr. Sri Rahayu menyampaikan, baik proses pirometalurgi maupun hidrometalurgi memerlukan pretreatment atau perlakuan awal, seperti pengosongan daya baterai (discharging), penyortiran baterai bekas berdasarkan jenisnya, penghancuran baterai bekas, dan sebagainya.
Langkah ini dilakukan sebelum masuk ke proses daur ulang utama agar nilai efisiensi ekstraksi logam dapat ditingkatkan dan energi yang dibutuhkan untuk proses daur ulang dapat diminimalisasi.