Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga riset dan kebijakan publik Populi Center menuding koalisi Merah Putih ingin mengacaukan pemerintahan baru Jokowi-JK lewat pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Koalisi Merah Putih yang terdiri dari enam partai di parlemen –Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, PPP– kompak menghendaki pilkada langsung oleh rakyat ditiadakan dalam pembahasan RUU Pilkada.
“Mereka yang mendukung pilkada oleh DPRD kartel elite dan partai antidemokrasi. Terlihat sekali mereka ingin balas dendam atas kekalahan di Pemilu Presiden,” kata peneliti Populi Center Nico Harjanto dalam konferensi pers 'Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pilkada oleh DPRD' di Cikini, Jakarta, Selasa (9/9).
Jika pemerintah dan DPR mengesahkan pilkada oleh DPRD, ujar Nico, maka 70 persen kepala daerah se-Indonesia akan berasal dari koalisi Merah Putih dan mereka dikhawatirkan akan menjadi sulit diatur oleh pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Dengan menguasai daerah, dengan kepala daerah sebanyak itu, bukan tak mungkin mereka akan membuat kerja pemerintah pusat terlihat tak berhasil,” kata Nico.
Populi Center dan berbagai lembaga swadaya masyarakat pun berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di ujung pemerintahannya ini dapat mengawal RUU Pilkada. Mempertahankan pilkada langsung akan menjadi warisan terbaik SBY untuk pemerintahan ke depan.
“Selama 10 tahun ini, kita bisa lihat banyak pemimpin daerah yang sukses memimpin daerahnya karena dipilih secara langsung. Jika pemimpin daerah dipilih DPRD lagi, itu sama saja kembali ke Orde Baru,” kata Nico.
Kepala daerah pertama kali dipilih langsung oleh rakyat di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pilkada langsung perdana digelar Juni 2005 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sikap pemerintah sampai saat ini dalam rapat kerja RUU Pilkada di DPR tetap menghendaki pilkada langsung dipertahankan. Meski pilkada langsung memiliki kekurangan, pemerintah yakin itu bisa dibenahi dengan membuat aturan dana kampanye murah dan menggelar pilkada serentak demi efisiensi anggaran.
Sementara KPK berpendapat pilkada tak langsung berpotensi membuat kepala daerah menjadi mesin uang anggota DPRD setempat. Praktik suap-menyuap bisa makin subur. Pengusaha atau korporasi dapat dengan mudah menyogok anggota DPRD agar kepentingannya diloloskan, dan anggota DPRD lebih leluasa memeras kepala daerah.