Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian hukum dan HAM berencana memberikan sanksi kepada Pelaksana Harian Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Plh) Sorong Isak Wanggai lantaran menerbitkan Berita Acara Pengeluaran Tahanan bebas hukum kepada Aiptu Labora Sitorus.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Handoyo Sudrajat mengatakan sanksi tersebut diberikan kepada Labora karena Isak dinilai lalai. "Sanksi sesuai dari hasil pemeriksaan tim Inspektoral Jenderal," kata Handoyo ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (4/2). Saat ini, tim sedang melakukan kajian terhadap kasus ini.
Handoyo mengatakan kajian tersebut didasarkan pada PP Nomor 53 tahun 2010 tentang hukuman disiplin bagi pegawai negeri. "Sanksi paling berat ada pemecatan tidak hormat," ujarnya kepada CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk peraturan tersebut, sanksi ringan yang diberikan dapat meliputi teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis. Sementara sanksi disiplin sedang yakni penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
Sementara itu, hukuman disiplin berat yaitu penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Sebelumnya, Isak menandatangani surat yang membebaskan Labora. Namun, surat tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum lantaran tidak sesuai prosedur formal Kementerian Hukum dan HAM. Surat tersebut digunakan sebagai dalih Labora untuk melarikan diri.
"Labora, kan, keluar dari rumah sakit pada April 2014 tapi suratnya baru keluar Agustus," ucapnya. Sebelumnya, Labora mengajukan permohonan izin kepada pihak LP lantaran sakit. Namun, dia tak kembali ke LP untuk waktu yang lama.
Sebelumnya, anggota Korps Bhayangkara ini ditengarai memiliki rekening gendut hasil dari tindak pidana pencucian uang dan penyelendupan bahan bakar senilai Rp 1,5 triliun. Saat itu, ia bertugas di Polda Papua Barat.
Ia pun divonis oleh Pengadilan Tinggi Provinsi Papua Barat dengan hukuman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Pada 17 September 2014, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa dan memperberat vonis menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
(utd)