DPR Tunggu Surat Resmi Pemerintah Tolak Revisi UU KPK

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Minggu, 21 Jun 2015 19:05 WIB
Pro kontra revisi UU KPK terus berlanjut, bahkan DPR dan Pemerintah saling lempar bola panas enggan disebut pengusul UU yang masuk di Prolegnas DPR 2014-2019.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memperlihatkan koleksi batu akiknya. Ia gemar mengenakan cincin batu akik di jemari kedua tangannya. (CNN Indonesia/Aghnia Adzkia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan DPR menunggu surat resmi dari Presiden Joko Widodo atau Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly atas pembatalan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Termasuk surat pembatalan masuknya UU KPK dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015.

"DPR sejak awal kan tidak di 2015. Tapi kan pemerintah yang ajukan itu saat di Baleg," ucap Arsul saat dihubungi, Minggu (20/6).

Ia mengakui memang awalnya revisi UU KPK merupakan inisiatif dari DPR.  Namun, inisiatif tersebut rencananya dibahas setelah pembahasan rencana revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anggota Badan Legislasi DPR ini mengatakan rencana revisi UU KPK belum secara resmi masuk Prolegnas Prioritas 2015, karena usulan belum dibahas di rapat Badan Musyawarah DPR dan juga belum diputuskan dalam rapat paripurna selaku tempat pengambilan keputusan tertinggi di DPR.

"Kalau ini nanti tetap jadi inisiatif DPR maka mekanismenya akan dimasukkan pada Prolegnas 2016 atau 2017, baru ditentukan jadwal pembahasannya," ujar Anggota Komisi III DPR ini.

Arsul mengatakan meski inisiatif DPR, nantinya revisi terhadap UU KPK tidak dilakukan sembarangan. Pengawasan oleh elemen masyarakat sipil, lanjut Arsul, akan mengawal proses revisi nanti.

Selain itu, ia menegaskan revisi tersebut dilakukan bukan untuk melemahkan KPK. Hal serupa diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi III Mulfachri Harahap.

"Revisi UU KPK kan bukan untuk melemahkan. Revisi ini bisa untuk memperkuat KPK," tutur Mulfachri.

Rencana melakukan revisi UU KPK menuai pro dan kontra. Keinginan merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK itu terakhir dibahas 2012. Revisi UU KPK yang diajukan Komisi Hukum DPR saat itu dinilai melemahkan fungsi lembaga antirasuah.

Sebut saja draf yang mengatur soal penyadapan dan penuntutan. UU KPK yang ada saat ini memberi kewenangan luas kepada KPK dalam melakukan upaya penyadapan tanpa perlu meminta izin pengadilan dan tanpa menunggu bukti permulaan yang cukup.

Namun dalam draf itu, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan dan harus mengantongi bukti permulaan yang cukup. Hanya dalam keadaan mendesak saja penyadapan dapat dilakukan tanpa meminta izin tertulis ketua pengadilan negeri. Frasa "keadaan mendesak" ini tentu saja sangat terbuka untuk diperdebatkan.

Draf itu mendapat penolakan dengan sejumlah argumentasi, di antaranya permintaan izin dapat menyebabkan kebocoran informasi; menimbulkan konflik kepentingan jika penyadapan terkait pemberi izin; dan memperpanjang birokrasi yang justru menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan di KPK. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER