Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Taufiqulhadi meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjelaskan keterlembatan penyerahan laporan hasil gratifikasi yang disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Politikus Partai NasDem menjelaskan sebagaimana diatur Undang-Undang, ada ketentuan pengembalian hasil gratifikasi dan korupsi, meski tak menyebut UU dan pasal yang dimaksud. Dia pun baru mengetahui isu ini.
Meski demikian, dia meyakini jika BPK telah membuat laporan itu, maka hal tersebut benar dan diperlukan jawaban klarifikasi dari KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk itu saya minta KPK menjelaskan hal tersebut, karena tidak boleh KPK membuat hal mencurigakan, karena lembaga ini sangat dihormati masyarakat," kata Taufiqulhadi, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11).
Taufiqulhadi juga menjelaskan, selama ini komisinya belum mendapat laporan terkait hal tersebut dari KPK. Agar jelas, Taufiqulhadi meminta agar KPK menjelaskannya kepada BPK.
"Sehingga nanti BPK bisa memberi opini berikutnya terhadap hal tersebut. Kalau tidak, nanti ada dugaan-dugaan lain penyalahgunaan penggunaan anggaran, itu sangat berbahaya," kata Taufiqulhadi.
Taufiqulhadi menyatakan keterlambatan pemberian laporan dalam waktu tertentu seperti satu hari ataupun satu jam pun disebutnya sudah melanggar.
"Nanti apa bedanya tiga hari dengan tiga minggu, dengan tiga bulan?" kata Taufiqulhadi.
Dengan demikian, dia mengatakan KPK tidak boleh bermain-main dengan durasi waktu pelaporan, karena menurutnya hal itu tidak elegan.
Oleh karena itu, Taufiqulhadi mengatakan hal ini perlu dijelaskan, jika masalahnya teknis pembukuan, mungkin alasan itu bisa diterima asalkan fakta dan substansinya tetap sama.
Hasil audit BPK terhadap laporan keuangan KPK tahun 2014 yang dikeluarkan 25 Mei lalu menyimpulkan adanya keterlambatan penyetoran duit gratifikasi yang dihimpun KPK ke kas negara dengan taksiran nilai Rp 901.022.099.
Keterlambatan itu tercatat setelah BPK melakukan pemeriksaan terhadap Data monitoring Gratifikasi 2014, Surat Keputusan Gratifikasi, Surat Setoran Bukan Pajak, LRA 2014.
"Keterlambatan satu hingga 3 hari dari tanggal serah terima SK Penetapan Gratifikasi dari Administrator kepada Bendahara Penerimaan dengan tanggal setor ke Kas Negara, Keterlambatan itu terdiri dari 25 nama pelapor," demikian bunyi kutipan dari laporan BPK.
Keterlambatan tersebut dianggap tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran PNBP oleh Bendahara Penerimaan. Hal itu menurut BPK telah mengakibatkan negara terlambat memanfaatkan PNBP yang berasal dari gratifikasi.
Pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Pribowo menyatakan keterlambatan penyetoran aset sitaan perkara korupsi ke kas negara bukan disebabkan oleh keteledoran atau kesengajaan.
Penyerahan aset sitaan sebagai bagian dari Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) menurut Johan membutuhkan putusan hukum tetap (inkrah) yang bersifat final.
Dengan kata lain, penyerahan aset sitaan kepada kas negara tidak bisa sekadar mengandalkan hasil putusan vonis perkara korupsi di pengadilan karena belum bersifat final dan mengikat. Masing-masing pihak yang berperkara dalam hal ini masih memiliki kesempatan untuk menempuh upaya hukum lanjutan di tingkat banding atau kasasi untuk mencapai putusan inkrah.
"Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan 2014 itu sebagian aset sitaan masih pada tahap putusan vonis. Sehingga itu belum dapat dikatakan sebagai PNBP karena belum ada putusan inkrah," kata Johan saat dikonfirmasi Rabu (25/11).
(bag/bag)