Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengaku menikmati pekerjaan yang diembannya sekarang sebagai pembantu Presiden. Meski demikian, ada harga yang harus ia bayar.
Kepada wartawan CNNIndonesia.com Christie Stefanie, politikus Partai Hanura itu menceritakan hal-hal yang hilang dari kehidupannya sejak menjabat sebagai menteri.
Ada yang hilang dari hidup Anda sejak menjadi menteri?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu mengajar saya. Saya kan dosen tamu di Nanyang University, Singapura. Biasanya satu bulan sekali ke Singapura, mengajar dan diskusi segala macam.
Biasanya juga saya kalau mau jalan-jalan dengan istri ke Malaysia, Singapura, ke mana saja, bebas. Sekarang kan tidak bebas. Harus izin Presiden. Itu juga tidak bisa setiap saat saya minta izin. Yang pasti saya sudah tidak boleh mengajar di luar negeri.
Waktu mengajar saya di kampus (Universitas Nasional) juga tidak bebas. Dulu, saya dalam satu minggu bisa dua-tiga kali ke kampus. Banyak aktivitas di kampus. Sekarang, satu kali. Itu harus karena saya guru besar. Kewajiban.
Yuddy Chrisnandi tercatat sebagai pegajar tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional, Jakarta. Ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional pada 23 Mei 2015. Yuddy menjadi guru besar termuda di universitas tersebut.Anda merasa tak lagi leluasa?Iya, pasti. Kan harus menjaga sikap, perbuatan. Dulu kalau misalnya di rumah, belum mengantuk, istri dan anak sudah tidur, kemudian teman ajak jalan dan ngopi, kan tinggal jalan saja. Nongkrong sampai jam 12 malam dengan orang banyak kan,
who cares? Sekarang kan tidak bisa. Ada asas kepantasan, tidak boleh sembarangan.
Dulu, hari Jumat sampai Minggu, kalau iseng mau ke Singapura, tinggal beli tiket langsung berangkat. Sekarang, pantas tidak sih menteri bolak-balik ke luar negeri? Nanti dikira banyak banget gajinya. Padahal kan gaji menteri cuma segitu, dari mana uangnya? Jadi serba salah. Padahal saya punya tabungan sendiri.
Ada hal-hal yang membuat pejabat itu tidak bebas. Yang hilang dari pejabat itu adalah kebebasannya sebagai personal, karena dia telah menjadi bagian dan milik publik. Jadi pejabat harus memiliki etika sosial dan etika publik yang dijaga.
Dulu saat bukan pejabat, waktu saya naik mobil lalu ada yang menghalangi, langsung klakson untuk menyuruh minggir. Begitu jadi pejabat, langsung minta (ke sopir) jangan klakson. Karena nanti orang tahu, ini mobil menteri. Sekarang mobil saya hampir sama sekali tidak pernah klakson.
Saat mengendarai mobil pribadi juga begitu?Iya, tapi kalau mobil pribadi masih suka seronok sedikit. Kalau mobil dinas, kan harus menjaga martabat sebagai pejabat yang punya etika. Jarang sopir saya membunyikan klakson. Dipepet orang pun, saya bilang sudahlah.
Kadang kan kalau di jalan, suka ada yang bandel. Pepet, pepet saja. Kalau dulu, saya kejar dan pepet lagi. Kan mobil sendiri dan pakai asuransi. Sekarang, sudah, sudah karena mereka tahu itu mobil menteri. Sementara saya tidak tahu siapa dia, dan nanti jadi ada masalah. Jadi dibiarkan, lewat saja.
Dulu, macet kadang masuk
busway. Kepepet, hajar saja. Kalau sekarang? Malulah. Kalau macet masuk jalur
busway, mikir tujuh kali. Kecuali dalam situasi yang sangat genting dan memaksa, tapi itu pun tetap tidak dilakukan.
Jadi harus mampu menjaga diri dan tahu diri bahwa pejabat tidak sebebas masyarakat umum.
Ada hal baru yang menarik setelah jadi menteri?Yang baru dan saya syukuri, sebagai pejabat negara mendapatkan
voorijder (fasilitas pengawalan lalu lintas). Kalau saya mau ke Istana karena dipanggil Presiden, mau rapat kabinet, jadi cepat, tidak macet. Atau kalau mau ke bandara. Itu untuk kepentingan dinas. Mempercepat akses.
Tapi kalau tidak untuk dinas, hari libur Sabtu atau Minggu, tidak dipakai. Jalan juga tidak begitu macet. Jadi petugasnya saya suruh pulang. Kalau ke mal, juga tidak saya pakai.
Paling tidak, untuk aktivitas tugas saya, itu sangat membantu. Itu sesuatu yang baru.
(agk)