Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, demo besar-besaran pengemudi transportasi konvensional kemarin (22/3), disebabkan lambatnya pengambilan keputusan pemerintah soal polemik transportasi berbasis aplikasi. Padahal transportasi seperti Gojek, Grab, dan Uber sudah lama ada di Indonesia.
"Harusnya sejak lama pemerintah tanggap, ada pengaturan hal ini. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat terhadap transportasi online semakin terbentuk," ujar Fadli melalui keterangan tertulis yang diterima CNN Indonesia, Rabu (23/3).
Dia mengatakan, masyarakat Jakarta semakin lama merasa nyaman atas fasilitas transportasi daring, yakni mudah dijangkau dan murah. Menurutnya, transportasi berbasis online bentuk perubahan positif. Namun, hal itu tidak disertai pengaturan yang jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, transportasi konvensional juga menunggu kepastian pemerintah karena merasa dirugikan atas adanya kendaraan umum berbasis aplikasi. Tarif yang ditawarkan transportasi daring jauh lebih murah karena tidak mengikuti regulasi layaknya transportasi konvensional.
Ketua Komisi Komunikasi dan Informatika DPR Mahfudz Siddik menuturkan, polemik transportasi daring merupakan dua persoalan yang saling terkait. Hal itu ialah terkait regulasi transportasi umum yang berkembang menjadi transportasi online dan sistem aplikasi online berkaitan dengan ekonomi.
Dia mengatakan, pernah membahas e-commerce bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Menkominfo diharapkan dapat membuat regulasi bagi pelaku e-commerce agar memberikan keuntungan bagi pemerintah di setiap transaksinya.
"Selama ini transaksi langsung tidak melalui perbankan. Mereka juga tidak bayar pajak dan tidak ada badan hukum di Indonesia," kata Mahfudz di Gedung DPR RI, Jakarta.
Dia menuturkan, Rudiantara tidak dapat menutup aplikasi transportasi online secara sepihak. Karenanya, dia mengimbau, Rudiantara dan Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan, dapat duduk dan mengambil keputusan bersama atas polemik transportasi online.
"Kebijakan sektoral antara Menkominfo dan Menhub agak terlambat diambil. Mereka merasa ini bukan kewenangan mereka. Kalau sendiri-sendiri sulit. Kami menunggu jika pemerintah memiliki jalan tengah," ucap Legislator Partai Keadilan Sejahtera ini.
Senada, Ketua DPR Ade Komarudin meminta, pemerintah membuat regulasi yang adil bagi transportasi online dan konvensional. Regulasi yang melegalkan transportasi online dan memastikan transportasi konvensional tidak hilang karena hal itu.
"Supir konvensional juga perlu hidup, demikian juga yang online. Tidak boleh membuat regulasi yang merugikan salah satu," ujar Ade.
Kemarin (22/3) pagi, sekitar 10ribu pengemudi transportasi konvensional demo di sejumlah titik penting Jakarta. Mulai dari DPR, Istana Negara, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jalan Sudirman, Kawasan Semanggi, dan Senayan. Mereka menuntut agar transportasi daring ditutup.
Jonan menilai, transportasi berbasis aplikasi melanggar UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dia meminta Rudiantara menutup transportasi daring. Namun, permintaan itu ditolak Rudiantara. Rudiantara mengatakan, hal itu masih sektor Kementerian Perhubungan.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan berpendapat, regulasi terkait angkutan darat perlu disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Menurutnya, legislator dan regulator tidak mengantisipasi munculnya layanan transportasi daring.
Sementara itu, Jonan menilai, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak perlu dievaluasi. Mantan Direktur Utama PT KAI itu mengatakan , UU Nomor 22 Tahun 2009, memang tidak mengurus sistem reservasi, atau proses bisnis transportasi.
Polemik keberadaan transportasi berbasis daring bukan terletak pada sistem aplikasinya, melainkan di perizinan kendaraannya.
(bag)