Jakarta, CNN Indonesia -- Ada satu yang paling ditunggu oleh publik Jakarta saat ini seputar pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, yaitu siapa calon gubernur yang bakal diusung oleh partai penguasa ibu kota, PDI Perjuangan. Hingga kini PDIP melalui ketua umumnya Megawati Soekarnoputri masih belum juga menentukan siapa calon yang akan dimajukan.
Di tengah masih terombang-ambingnya nama kandidat yang bakal diusung, bermacam gerakan dan manuver dari kedua kubu pendukung petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan kubu pendukung kader internal PDIP yakni Tri Rismaharini semakin kuat.
Tarik menarik kepentingan juga tampak makin kencang mendekati masa pendaftaran pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur partai pada 19-21 September 2016 mendatang. Di tataran elite, dalam pekan ini setidaknya ada tiga partai yang mempertegas menunjukkan pilihannya.
Serupa dalam bersikap, petinggi Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Demokrat memutuskan menentang Ahok. Mereka bahkan menggarisbawahi kerasnya penolakan. Seperti disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PKB Daniel Johan, pertimbangan utama PKB terletak pada munculnya penolakan yang amat keras pada basis-basis massa PKB terhadap Ahok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais secara lantang menyebut gagasan yang dikeluarkan oleh incumbent jelang Pilkada Jakarta 2017 tidak bermutu dibandingkan calon alternatif yang diusulkan PAN, yakni Risma yang juga menjabat Wali Kota Surabaya.
Lebih dalam lagi, Hanafi menyebut masyarakat Jakarta membutuhkan sosok gubernur yang ramah dengan rakyat dan tidak zalim. Karena itu, partainya sangat mengharapkan PDIP dalam hal ini Megawati sebagai penggenggam kuasa penuh mau mengusung calon gubernur yang terbaik salah satunya adalah Risma.
Adapun Partai Demokrat yang juga melalui elitenya yakni Syarief Hasan menyampaikan bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberi arahan untuk tidak mendukung Ahok. Alasannya, kata Syarief yang menjabat Wakil Ketua Umum, partainya menginginkan gubernur Jakarta yang lebih baik.
Tak cuma di tingkatan elite, di level arus bawah pergerakan pendukung dan penolak Ahok juga saling unjuk gigi dengan menggelar aksi. Di pihak penentang Ahok, warga yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Jakarta menggeruduk markas PDIP untuk menyampaikan aspirasi yakni tak mengusung Ahok.
JRMK menekankan bahwa PDIP adalah partai yang pro terhadap wong cilik dan tak mungkin akan mendukung Ahok yang mereka anggap menindas masyarakat kecil. Salah seorang warga yang menggelar orasi menyatakan,“Kami minta agar Ibu Megawati tak mendukung Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta.”
Pada hari yang sama, gerakan tandingan dilancarkan massa pendukung Ahok dengan mendirikan posko pemenangan yang dinamakan Rumah Lembang. Rumah yang berlokasi di Jalan Lembang, Jakarta Pusat, itu dijadikan contoh untuk model posko-posko pendukung Ahok di seluruh penjuru ibu kota. Dukungan untuk Ahok juga mengalir dengan pendeklarasian Relawan Ahok-Djarot di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pertarungan di tingkat elite dan basis massa demikian kuat. Di internal PDIP sendiri tarik menarik kepentingan tampak jelas. Sebagian kader menginginkan Megawati nantinya memberi dukungan ke Ahok, sebagian lain berharap Megawati tak memberi restu untuk Ahok.
Bagi politisi PDIP Hendrawan Supratikno jatuhnya pilihan PDIP pada calon yang akan diusung partainya nanti tak bisa dilepaskan dari rekam jejak kinerja calon. Hendrawan meyakini Megawati bakal menjadikan hal tersebut sebagai salah satu pertimbangan utama, selain pertimbangan dari menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Adanya arus dukungan yang kuat terhadap Risma untuk dimajukan sebagai cagub Jakarta, Hendrawan memandangnya sebagai hal yang kurang pas. Baginya, Risma tak perlu didorong-dorong untuk meninggalkan Surabaya. Hendrawan juga mengaku merasa masih punya waktu yang cukup bagi Megawati untuk tidak perlu buru-buru memutuskan siapa yang nanti bakal dideklarasikan.
Berbeda pandangan dengan Hendrawan, politisi PDIP lainnya Eva Kusuma Sundari mengklaim pengurus partainya lebih banyak mendukung Risma untuk dimajukan ketimbang Ahok. Jika bicara dari sisi Megawati, menurut Eva, peluang antara Ahok dan Risma masih sama-sama besar.
Baik Hendrawan maupun Eva sama-sama mengakui bahwa Megawati berada di posisi yang tak mudah. Keduanya juga meyakini bahwa ketua umumnya bakalan memperhatikan semua aspirasi yang ada, baik dari dalam maupun luar partainya.
Ada secuil cerita yang tercecer dari sulitnya sang ketua umum PDIP dalam menentukan calon yang akan dimajukan saat pilpres lalu. Ketika itu dorongan dari masyarakat kepada kader PDIP Joko Widodo begitu sangat kuat untuk dimajukan sebagai capres. Namun di sisi yang berlawanan, Jokowi saat itu baru menjabat gubernur Jakarta dua tahun dan dianggap belum pantas dan belum layak mendapat tiket dari PDIP untuk maju ke pentas nasional panggung pilpres. Berbagai cara dan upaya, dari mulai mendoakan Megawati hingga membujuk terus dilakukan oleh petinggi-petinggi PDIP di lingkaran dalam Megawati agar mau mencalonkan Jokowi.
Meski pertarungan ajang pemilihan gubernur Jakarta berbeda dengan panggung pemilihan presiden seperti saat 2014 lalu, namun ada kesamaan yang dialami Megawati: berada dalam posisi sulit untuk memilih atau menentukan calon. “Ada kesulitannya sendiri dan dilema dalam memutuskan calon yang akan diusung,” ucap Hendrawan yang tetap optimistis pilihan Megawati tak bakal keliru dalam menentukan cagub Jakarta nanti.
Sinyal bahwa Megawati nantinya bakal menjatuhkan pilihan ke Ahok memang sudah terlihat terkait dengan pernyataan yang pernah dilontarkan Ahok. Namun pergerakan dan tarik menarik kepentingan masih bakal berlangsung sengit hingga menit-menit akhir jelang pendeklarasian. Apakah sinyal yang sudah ada itu masih bisa berubah, atau kepada siapakah nantinya Megawati resmi menjatuhkan pilihannya?
(obs)