Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno menolak rencana hak angket penonaktifan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang diajukan oleh fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hendrawan menjawab secara tegas menanggapi usulan hak angket tersebut.
"Crystal clear! (pasti menolak!)," kata Hendrawan saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Minggu (12/2).
Hendrawan menjalaskan, rencana hak angket penonaktifan Ahok sarat politik. Dia menilai, PKS sebaiknya tidak berspekulasi lewat hak angket, sebab pertanyaan yang salah dalam hak angket bisa membuat suasana semakin gaduh.
"Yang sudah di jalur hukum jangan dikisruhkan lagi oleh manuver politik, nanti gaduh. Hanya orang yang ingin mengail ikan di air keruh dan ada udang di balik batu yang suka gaduh," kata Hendrawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hendrawan meminta masalah itu diselesaikan aparat penegak hukum, bukan dibawa ke DPR. Apa lagi saat ini penyelenggaraan Pilkada serentak 2017 sedang berlangsung.
"Semua pihak ingin Pilkada berjalan tertib dan damai. Semua ingin menjadikan Jakarta sebagai etalase demokrasi yang sedang bersemi. Semua ingin menang secara elegan, kami imbau agar kita menonjolkan rasionalitas ketimbang letupan-letupan emosional," kata Hendrawan.
Secara struktural di DPR, urusan dalam negeri yang dinaungi Kementerian Dalam Negeri bermitra dengan Komisi II. Hendrawan menilai kontroversi penonaktifan Ahok juga tidak perlu dibahas dalam Komisi II.
 Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan istri Veronica Tan saat menerima ucapan selamat dari Megawati Soekarnoputri usai pelantikan Gubernur DKI Jakarta di Istana Negara, Rabu (19/11/2014). (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Secara terpisah, Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto memberikan tanggapan yang sama. Namun alasan partainya menolak hak angket, kata Wuryanto, lantaran sebagai partai pengusung pemerintah. PDIP akan mendukung keputusan pemerintah.
"Pasti dukung kebijakan pemerintah, namanya juga partai pendukung," kata Bambang.
Minta Penjelasan MendagriSementara Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana menilai hak angket penonaktifan Ahok sangat tidak perlu. Menurutnya permasalahan ini bisa diselesaikan oleh Komisi II yang bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri.
"Daripada muncul polemik satu sama lain, lebih baik Komisi II meminta penjelasan resmi Mendagri dalam hal ini. Tidak usah ribut-ribut dulu," ujar Dadang.
Dia menilai, kontroversi status Ahok hanya masalah perbedaan sudut pandang di antara beberapa pihak.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah (UU pemerintah daerah) pasal 83, kepala daerah yang didakwa dengan hukuman lima tahun penjara harus dibebastugaskan untuk sementara. Pasal ini yang dianggap sejumlah pihak, termasuk fraksi PKS, merasa perlu untuk menonatifkan Ahok.
"Hak angket itu bisa dilakukan bila menyangkut persoalan yang penting, strategis dan berdampak luas pada masyarakat. Masak, masalah pilkada DKI sampai menguras semua energi, ada apa sih?" kata Dadang.
Dia berpendapat, seharusnya persoalan ini disikapi dengan wajar. Dadang berharap, kepentingan kelompok dalam menyikapi persoalan Ahok tidak terlalu mengemuka.
"Sederhana kok, tinggal panggil Mendagri ke Komisi II, minta penjelasan," ucapnya.
Sabtu (11/2) lalu, Ahok kembali aktif menjadi gubernur dengan menyandang status terdakwa dugaan penodaan agama. Sejauh ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo belum menonaktifkan Ahok karena alasan dakwaan yang belum pasti. Pihaknya menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ahok ditetapkan terdakdwa dengan dikenakan dua pasal yakni Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP. Dalam pasal 156 ancaman hukuman paling lama empat tahun, sementara pasal 156a ancaman hukuman paling lama lima tahun.
Sebelumnya, hak angket penonaktifan Ahok diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi II sekaligus Ketua DPP PKS Almuzzammil Yusuf. Ia meminta DPR menggunakan hak angket bila Ahok tidak dinonaktifkan.
"Untuk itu, maka fraksi-fraksi di DPR penting menghidupkan hak angket untuk memastikan apakah Pemerintah sudah sejalan dengan amanat undang-undang dan Konstitusi," kata Almuzzammil melalui keterangan tertulis.
Dia tidak sependapat dengan alasan yang diberikan Tjahjo. Mengacu pada pasal 83, presiden wajib mengeluarkan surat keputusan tentang pemberhentian sementara sampai status hukumnya bersifat tetap bagi gubernur yang berstatus sebagai terdakwa yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
“Sudah cukup bukti dan dasar hukum bagi presiden untuk memberhentikan sementara BTP dari jabatan Gubernur DKI. Pertama, status BTP sudah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kedua, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun,” kata Almuzzammil.