Jakarta, CNN Indonesia -- Usulan penggunaan hak angket yang disetujui rapat paripurna DPR, Jumat (28/4), tidak hanya untuk menyelidiki rekaman pemeriksaan penyidik KPK terhadap eks anggota Komisi II Miryam Haryani pada kasus e-KTP.
Angket tersebut juga akan menyelidiki penggunaan anggaran dan tata kelola dokumentasi pengusutan kasus korupsi yang dilakukan KPK.
Perwakilan pengusul hak angket, Teuku Taufiqulhadi dari Fraksi NasDem, menyebut DPR perlu memeriksa dugaan ketidakpatuhan KPK dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"DPR mendapat informasi tentang tidak selalu berjalannya pelaksanaan tupoksi KPK yang sesuai peraturan perundang-undangan dan tata kelola kelembagaan yang baik," kata Taufiqulhadi saat rapat paripurna.
Taufiqulhadi mengatakan, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK Tahun 2015 mencatat tujuh indikasi ketidakpatuhan lembaga itu, dua di antaranya kelebihan pembayaran gaji pegawai serta belanja barang Direktorat Monitor Deputi Informasi dan Data yang tak sesuai mata anggaran dan tak dilengkapi pertanggungjawaban memadai.
Selain itu, kata Taufiqulhadi, ada pula indikasi pembayaran belanja perjalanan dinas, belanja sewa dan belanja jasa profesi pada Biro Hukum serta perjalanan dinas pada Deputi Penindakan yang tidak didasarkan pada surat perintah.
Tiga indikasi lainnya adalah ketiadaan standar pembayaran honorarium Deputi Penindak, realisasi belanja perjalanan dinas biasa yang tak sesuai ketentuan minimal dan perencanaan tak cermat pendirian Gedung KPK yang mengakibatkan kelebihan pembayaran.
BocorPara pengusul hak angket itu juga mempersoalkan dugaan pembocoran sejumlah dokumen KPK, seperti berita acara pemeriksaan, surat perintah penyidikan, dan surat cegah-tangkal.
Mereka menyebut KPK kerap tidak cermat dan tak berhati-hati ketika menyampaikan informasi pengusutan kasus korupsi. Para pengusul menuduh KPK beberapa kali membocorkan informasi itu kepada kepada media massa tertentu.
Pembocoran tersebut, kata Taufiqulhadi, berpotensi merugikan naba baik penyelenggara atau pejabat negara. "Beberapa elemen masyarakat juga menyampaikan ketidakharmonisan di internal KPK terhadap pimpinannya," ujarnya.
Para pengusul angket mendasarkan langkah mereka pada pasal 20 ayat (1) UU KPK. Aturan itu menyebut KPK mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pada publik dan melaporkannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK.
"DPR dapat mengevaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dalam penegakan hukum yang adil, transparan, akuntabel, profesional, dan proporsional," ujar Taufiqulhadi.