Jakarta, CNN Indonesia --
Kegandrungan masyarakat Indonesia pada dunia maya membuat negara ini dijuluki sebagai salah satu pasar internet terbesar di Asia. Betapa tidak, per Juni 2014 kemarin harian The Wall Street Journal melansir pengguna Facebook di Indonesia telah menembus angka 69 juta orang.
Pun hal yang sama juga dialami Twitter Inc yang telah digunakan oleh sedikitnya 50 juta orang Indonesia hingga akhir tahun lalu. Tak ayal, Chief Executive Officer (CEO) Twitter Dick Costolo yang beberapa waktu lalu menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar di bisnis dunia maya.
"Indonesia merupakan pertumbuhan terbesar saat ini, dan Indonesia jadi salah satu pasar yang paling menguntungkan," ujarnya pada Kamis (26/3).
Akan tetapi, di tengah besarnya pengguna layanan linimasa dan aplikasi internet tak ada satu pun pelaku usaha lokal yang mencuat dan diperhitungkan di bisnis internet domestik. Padahal, Indonesia memiliki bakat untuk menjadi subjek atau pembuat aplikasi (developer).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang menjadi ironi, Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintahan Google Indonesia, Shinto Nugroho menilai masyarakat Indonesia pun hanya berpuas diri lantaran dikenal sebagai pasar internet yang besar di Asia. "Itu artinya kita (hanya) subjek dong. Padahal
raw material-nya (di sini) sangat bagus," ujarnya pada CNN Indonesia saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (29/3).
Shinto mengungkapkan, saat ini jumlah aplikasi buatan
developer asal Indonesia mencapai ribuan. Namun lantaran tak menggunakan layanan marketing berintegrasi, nama maupun produknya pun tak dikenal banyak banyak orang.
Selain itu, tak semua aplikasi yang dibuat juga tak dapat di-
publish lantaran terkendala finansial dan masalah lain. Oleh karenanya, ia mengaku agak kesulitan ketika diminta memastikan berapa persen penggunaan aplikasi-aplikasi buatan anak negeri. "Padahal
developer lokal itu bisa melihat masalah dengan lebih detail karena mereka memahami konteksnya,” kata Shinto.
Di samping kendala-kendala tadi, Shinto bilang, faktor yang juga menjadi penghambat pertumbuhan bisnis aplikasi lokal di Indonesia juga dilatarbelakangi minimnya akses internet di beberapa daerah, lambatnya kecepatan internet, hingga ketersediaan data yang teratur dan mumpuni.
Berangkat dari hal tersebut, ia pun mendesak pemerintah dan pihak swasta mendukung para
developer lokal yang dinilai memiliki kemampuan cukup mumpuni jika dibandingkan
developer asing. "Bill Gates juga tidak akan pernah menjadi Bill Gates kalau Amerika bilang internet itu tidak penting," kata Shinto beranalogi.
Berharap Lahir Zuckerberg Lokal
Di tengah ironi tadi, Shinto pun masih menyimpan asa bahwa Indonesia memiliki banyak anak muda yang mampu menjadi sosok laiknya Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook. Untuk mengakomodir bibit tersebut, ia menggelar bertajuk “Hack for Impact” hasil kerjasama antara Google Indonesia bersama Pemprov DKI Jakarta.
Dari catatannya, lebih dari 50 aplikasi lokal berkompetisi di gelaran ini. Adapun kategori yang dipertandingkan meliputi pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Shinto mengatakan, dari setiap kategori yang dipertandingkan akan dipilih satu
developer yang berhasil mendekati klasifikasi yang telah ditentukan para juri. Selain diberi hadiah, ujarnya, para pemenang juga berkesempatan untuk mengembangkan aplikasinya dengan dibantu mentor yang diakomodir oleh Google maupun Pemprov DKI Jakarta.
Dari gelaran ini, Kepala Unit Pelaksana Teknis Jakarta Smart City, Alberto Ali pun berharap
Hack for Impact dapat menjadi sarana
developer lokal mengembangkan bisnis internet Indonesia yang saat ini hanya menjadi pasar bagi aplikasi
developer asing. “Siapa tahu di sini ada Mark Zuckerberg-nya Indonesia," tutur Ali.
(dim)