Dijual Ilegal, Nilai Sampah Elektronik Capai Rp 250 Triliun

CNN Indonesia
Rabu, 13 Mei 2015 16:31 WIB
Laporan PBB menyebutkan bahwa sekitar 90 persen sampah elektronik dijual secara ilegal. Padahal, ini adalah bisnis bernilai tinggi.
Ilustrasi (dmitrydesign/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan data bahwa sekitar 90 persen 'sampah' barang elektronik seperti komputer, televisi, hingga ponsel pintar secara ilegal diperdagangkan tiap tahun.

Selain mencemari lingkungan, barang elektronik rongsokan yang sekiranya sudah menjadi buangan atau sampah nyatanya menciptakan bisnis kriminal yang sangat menguntungkan. Mirisnya, aktivitas ilegal ini mayoritas terjadi di kawasan Asia dan Afrika.

Laporan tersebut menunjukan ada sekitar 41,8 juta metrik ton sampah elektronik atau e-waste di tahun 2014. Angka tersebut disinyalir bakal menukik 50 persen pada 2018 mendatang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yang mengejutkan adalah, sekitar 60 sampai 90 persen sampah elektronik diperdagangkan atau dibuang secara ilegal. Secara estimasi, bisnis tersebut menghasilkan US$ 19 miliar per tahun atau setara Rp 250 triliun.

Oknum-oknum tak bertanggung jawab itu banyak yang menggunakan sampah daur ulang seperti plastik, kertas, atau logam untuk melindungi bahan berbahaya dari sampah elektronik tersebut. Namun, ada juga yang dengan sengaja menamainya sebagai barang tak berbahaya demi mengelabui aturan hukum.

Mengutip situs The Guardian, negara seperti Ghana, Nigeria, Tiongkok, Pakistan, India, dan Vietnam kini menjadi pusat sampah elektronik ilegal. Semuanya menyalurkan pembuangan legal global yang bernilai US$ 410 miliar per tahun atau sekitar Rp 5.405 triliun.

"Kami menyaksikan jumlah pembuangan barang elektronik di seluruh dunia yang sulit dipercaya. Tak hanya menyumbang porsi besar dari gunungan sampah non-daur ulang, tapi juga meningkatkan ancaman bagi kesehatan manusia karena lingkungan semakin tercemar dari elemen yang terkandung di barang tersebut," ujar salah satu petinggi PBB yang juga direktur eksekutif United Nations Environment Programme (UNEP), Achim Steiner.

Fenomena ini, menurut pihak PBB dan UNEP, bisa menjadi aspek pendorong terhadap kesadaran badan penegak hukum untuk lebih menguatkan perundang-undangan nasional.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER