Jakarta, CNN Indonesia -- Pesawat tenaga surya, Solar Impulse 2 telah mendarat di Hawaii sejak 3 Juli kemarin. Lepas landas dari Jepang pada 29 Juni dini hari, Solar Impulse 2 menjelajah Samudera Pasifik tanpa henti selama lima hari lima malam. Karena itu, baterai pesawat kini mengalami kerusakan.
Setelah mendarat di Kalaeloa, Honululu dari Nagoya, tim Solar Impulse bersorak gembira lantaran sang pilot, Andre Borschberg berhasil melewati rintangan tersulit yakni mengarungi Pasifik. Ia pun memecahkan rekor baru untuk penerbangan solo terlama tanpa henti.
Kegembiraan tersebut tampaknya secara cepat memudar lantaran baterai pesawat tengah rusak. Pihak misi Solar Impulse mengatakan baterai mengalami overheat akibat penerbangan tanpa henti. Tim segera melakukan pengecekan mekanik pesawat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah memecahkan rekor dunia, tim Solar Impulse akan menjalani perbaikan baterai karena mengalami overheating," ungkap tim Solar Impulse, mengutip situs NBC News.
Mereka mengatakan, kerusakan di bagian tertentu baterai sifatnya tak bisa diubah dan mengharuskan perbaikan serta pergantian baterai yang akan memakan waktu beberapa minggu.
Tim teknisi Solar Impulse kabarnya tengah mencari beragam pilihan untuk pengaturan proses pendinginan dan pemanasan baterai untuk penerbangan berdurasi lama.
Pesawat Solar Impulse 2 dipastikan belum bisa melanjutkan penerbangan dalam kurun waktu dua sampai tiga minggu ke depan.
Pesawat tenaga surya yang memiliki kecepatan maksimum 140 kilometer per jam itu mendapat energi dari 17 ribu sel surya yang dipasangkan di bodi pesawat, sayap, dan ekor. Walau mengandalkan tenaga surya, Solar Impulse tetap bisa terbang pada malam hari berkat daya yang tersimpan di dalam baterai seberat 633 kilogram.
Solar Impulse 2 lepas landas dari Abu Dhabi pada 9 Maret lalu dan sukses terbang menuju Oman, India, Myanmar, dan China. Setelah Hawaii, Solar Impulse 2 melanjutkan ekspedisinya ke Phoenix, Amerika Serikat.
Misi Solar Impulse 2 ini menelan biaya lebih dari US$ 100 juta atau setara Rp 1,3 triliun demi membuktikan pentingnya teknologi ramah lingkungan dan penggunaan energi terbarukan
(tyo)