Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara ingin lebih tegas terhadap para pemain over the top (OTT) yang layanannya berjalan di atas infrastruktur telekomunikasi Indonesia, dengan menanti aturan yang dirancang Komisi Uni Eropa.
Pemain OTT seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, hingga Path yang mampu menguasai jutaan pengguna dari seluruh dunia semua berasal dari Amerika Serikat.
Nyatanya tak hanya masyarakat Indonesia yang doyan mengkonsumsi media sosial dan layanan pesan instan besutan asing. Hal serupa juga terjadi di negara-negara benua biru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tidak bisa larang OTT internasional ada di Indonesia, hanya saja perlu konsisten dan tegas. Kita harus piggyback yang mengacu kepada regulasi lisensi Komisi Uni Eropa," ujar Rudiantara saat dijumpai di Kantor Kemenkominfo, Jakarta.
Ia menjelaskan, pihak otoritas di Uni Eropa selama ini telah mempertimbangkan secara mendalam soal subject to license para OTT internasional agar tak seenaknya berjalan di atas infrastruktur secara cuma-cuma.
Rencananya, menurut Chief RA -- begitu ia akrab disapa -- regulasi Komisi Uni Eropa bakal rampung tahun ini. Setelah itu, Indonesia sudah bisa mengikuti jejak metode yang digunakan oleh Eropa sekitar 2016 mendatang.
"Bukan jadi kiblat, namun kita mengikuti cara mereka karena kita sama-sama mendukung. Sembari menunggu rampungnya regulasi di sana, ya kita dorong OTT lokal untuk terus berkembang," tambahnya.
Persoalan OTT memang sudah sering disinggung oleh Rudiantara bahwa selama ini operator telekomunikasi memang tidak mendapatkan keuntungan dari para pemain OTT. Namun, bukan berarti operator mengalami kerugian karena layanan OTT, tapi mereka tidak dapat untung.
Beberapa waktu lalu di lain kesempatan, Presiden Direktur Smartfren Telecom, Merza Fachys sempat mengatakan, para operator di Indonesia kini sudah mulai membahas tentang bagaimana pola yang baik agar hasil yang didapatkan oleh OTT asing ada yang turun ke negeri ini.
"OTT asing itu lewat seenaknya di jaringan kita, lalu dapat triliunan, mbok ya kita kecipratan. Perlu dicari pola tepat agar tidak merugikan siapapun," tutur Merza.
Merza mengaku ini bukan sekadar berbicara soal apakah operator Indonesia harus berbisnis OTT, melainkan lebih kepada mencari jalan terbaik agar OTT asing secara nasional berkembang di mana pelaku di Indonesia seperti operator dan pemerintah juga mendapatkan 'cipratan' itu.
OTT merupakan layanan berbasis aplikasi atau web yang memanfaatkan jaringan internet agar bisa diakses pengguna, seperti Google, WhatsApp, Facebook, Twitter, Path, hingga portal berita. Layanan ini bisa diakses berkat infrastruktur telekomunikasi.
(eno)