Revisi PP 52/53 Tahun 2000 Berpotensi Rugikan Negara

Susetyo Dwi Prihadi | CNN Indonesia
Sabtu, 15 Okt 2016 09:04 WIB
Salah satu komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih berpendapat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 justru menciptakan inefisiensi.
Ilustrasi (CNN Indonesia/ Susetyo Dwi Prihadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih berpendapat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 justu menciptakan inefisiensi. Malah dampak luasnya berpotensi merugikan negara.

Menurutnya, memang revisi PP ini seolah-olah membuat efisiensi. Padahal, efisiensi ini hanya terjadi pada sebagian operator saja. Namun di sisi lain bisa membawa kerugian multiplier effect bagi industri telekomunikasi.

"Jadi secara agregat tidak menguntungkan sektor telekomunikasi. Itu yang menjadi perhatian dari Ombudsman,” terang Alamsyah, saat dihubungi.

Bahkan, menurutnya, revisi PP 52/53 tahun 2000 ini cenderung berpotensi merugikan keuangan negara dan dapat menimbulkan maladministrasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu bukti mal administrasi yang akan terjadi adalah adanya perang tarif antar operator telekomunikasi. Alamsyah melihat indikasi perang harga antar operator telekomunikasi sudah mulai terlihat dari tarif promosi yang mereka keluarkan.

Memang tarif promosi diperbolehkan dalam regulasi telekomunikasi. Namun promosi yang tidak memiliki batas waktu yang jelas dan selalu diperpanjang oleh operator, menurut Alamsyah, bisa dikategorikan sebagai perang harga.

"Jika perang harga ini terus terjadi maka potensi penerimaan negara dari PPn akan berkurang," katanya.

Sejatinya, merujuk aturan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, tarif retail adalah biaya interkonkesi ditambah operasional perusahaan ditambah margin.

Jika merujuk aturan tersebut, seharusnya tarif telepon antar operator minimal adalah Rp 500 permenit. Perhitungan tersebut didapat jika mengambil asumsi dari biaya terminasi (biaya interkoneksi tujuan pelanggan Rp 250) dan originasi (biaya interkoneksi asal pelanggan Rp 250). Operator bisa menurunkan biaya originasi tergantung dari kebijakan manajemen.

Jika Indosat dan XL menjual paket telepon ke semua operator masing-masing Rp 225 permenit serta Rp 200 permenit, ini artinya dua operator telekomunikasi tersebut menjual layanannya di bawah biaya produksi mereka.

Meskipun Indosat maupun XL bisa berdalil program promosi dengan memangkas tarif orignasi, namun program tersebut terbilang tidak masuk akal. Karena operator kerap melakukan perpanjangan program promosi tersebut tanpa tenggat waktu yang jelas.

Alamsyah menilai selama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika membiarkan sejumlah operator melakukan praktik promosi dan penjualan produk di bawah harga pokok produksi. Jika pemerintah terus membiarkan praktik promosi seperti ini, maka potensi pendapatan negara dari PPn akan hilang.

“KPK harusnya bisa memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif ini. Karena ada potensi kerugian negara maka KPK bisa memeriksa praktik perang harga yang merugikan negara tersebut,” terang Alamsyah. (tyo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER