Jakarta, CNN Indonesia -- Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis menilai bahwa Presiden Joko Widodo perlu berhati-hati untuk mengesahkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
PP No. 52 dan 53 Tahun 2000 yang penuh polemik ini bisa dibilang memang berlarut-larut sehingga dianggap tidak bagus dari sisi produktivitas bagi industri telekomunikasi.
Pun begitu di mata Ketua Umum FSP BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto. Menurutnya, Jokowi perlu mempertimbangkan sejumlah hal sebelum meneken rancangan revisi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami meminta Presiden Jokowi menunda pengesahan rancangan kedua PP tersebut karena keduanya dari sisi hukum diduga melanggar ketentuan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Terutama pasal 2 yaitu telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil, dan merata," ucapnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima
CNNIndonesia.com.
Selain itu, PP no.52 dan 53 Tahun 2000 juga diduga melanggar ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. khususnya Pasal 96 terkait partisipasi masyarakat.
Dengan kata lain, revisi dua PP telekomunikasi ini berisiko cacat prosedur, substansi, dan tidak didukung dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Poin selanjutnya yang membuat pihak PSP BUMN Strategis angkat bicara adalah mereka menduga bahwa revisi ini mengandung unsur penyuapan saat pembahasannya seperti laporan Komite Anti Pungli dan Suap Indonesia (KAPSI) ke KPK tertanggal 20 Oktober 2016.
Lebih lanjut, Wisnu juga menyinggung soal rencana rapat yang bakal diselenggarakan oleh Komisi I DPR RI dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara untuk membahas perkembangan revisi ini.
"Apakah Komisi I DPR RI sudah mengadakan rapat dimaksud? Menurut pemantauan kami rapat tersebut belum dilaksanakan. Mestinya proses revisi kedua PP ini berjalan sesuai kesepakatan RDP tanggal 24 Agustus 2016 yang lalu. Jangan ada kesan DPR dilecehkan Pemerintah," tukasnya.
Oleh karena itu Wisnu menyarankan pemerintah lebih fokus dalam penyelesaian pembuatan UU Telekomunikasi yang baru supaya rampung pada 2017.
Sekadar diketahui Menteri BUMN Rini Sumarno beberapa waktu lalu mengatakan, saat ini antar kementerian masih melakukan perhitungan konsolidasi modal atau
sharing antar perusahaan operator telekomunikasi.
Rudiantara juga menambahkan, konsolidasi modal antar operator telekomunikasi dibutuhkan untuk menopang percepatan pembangunan sektor telekomunikasi yang diharapkan dapat tumbuh dikisaran dua angka atau
double digit pada tahu 2018.
Dengan adanya revisi ini Rudiantara memastikan, beberapa operator telekomunikasi dapat 'patungan modal' untuk membangun jaringan bersama dengan biaya investasi yang dikeluarkan masing-masing operator.
Sementara itu menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, polemik revisi PP No. 52 dan 53 Tahun 2000 yang menguras energi ini berpotensi memperlambat tujuan pemerintah dalam mendorong percepatan dan perluasan ketersediaan infrastruktur pitalebar di seluruh wilayah Tanah Air.
"Saat ini makin banyak pihak yang ikut campur dalam polemik revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 tersebut, dengan berbagai kepentingan masing-masing. Ini tentu menjadi tidak obyektif lagi, karena masing-masing pihak merasa paling benar dan bersikukuh dengan kebenaran versinya tersebut. Sebaiknya, dikembalikan saja ke esensi dasarnya yakni apa manfaatnya untuk masyarakat/publik," katanya.
(hnf)