Susetyo Dwi Prihadi
Susetyo Dwi Prihadi
Wartawan teknologi yang menyukai film Marvel dan komik.

Hoax, Egois dan Fanatik Berlebih di Media Sosial

Susetyo Dwi Prihadi | CNN Indonesia
Jumat, 13 Jan 2017 12:57 WIB
Orang-orang overklaim biasanya hanya mengakui teori yang diyakininya, ada kemungkinan terbentuk karena algoritma dari media sosial.
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Saya punya dua orang sahabat di Facebook, si A selalu memposting yang berbau negatif dari salah seorang politikus, sementara si B sebaliknya. Keduanya tidak berkawan di Facebook—karena tak saling mengenal, tapi dua sahabat saya ini sudah cukup membuat jengah.

Bukan apa-apa, si A dan si B tak selalu mem-posting fakta, malahan keduanya lebih sering membeberkan berita palsu di linimasanya. Beberapa kali sudah diperingatkan soal kesahihanya, hasilnya malah debat kusir karena keras kepala.

"Pokoknya gue benar, lu yang salah." begitu kira-kira.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua sahabat saya itu hanya mempertahankan apa yang mereka yakini. Sayang keyakinan mereka menurut saya bisa jadi terbentuk karena 'campur tangan' algoritma Facebook, media sosial yang sering mereka pelototi.
Hoax, Egois dan Fanatik Berlebih di Media SosialFoto: Thinkstock/Emapoket
Eli Pariser, co-founder of Upworth dan aktivitas internet pernah merisaukan ini dalam sebuah teori yang disebutnya sebagai efek filter bubbles.

Maksudnya begini..

Dulu, Facebook menampilkan isian konten halaman beranda berbasis timeline (waktu), maksudnya postingan terbaru dari anggota lainnya akan ditaruh di atas.

Nah, sekarang diganti berdasarkan apa yang dicari, dilakukan dan aktivitas pengguna sebelumnya atau lampau seperti lokasi, riwayat klik, riwayat like, saling memberikan komentar dan riwayat pencarian.

Dari perubahan itulah pengguna seolah terkungkung dalam hal yang sama secara berkelanjutan yang menyebabkan dia egois, anti-kritik dan bahkan parahnya melakukan klaim berlebihan. Itulah yang disebut efek dari filter bubbles.

Saya contohkan begini, Santi, Sinta dan Sarah adalah penggemar Raisa, karena kegemarannya itu mereka mencari, men-share, mem-browsing,serta sebagainya soal musisi kesayangannya tersebut di internet

Semantik web secara berkesinambungan memberikan informasi--baik itu soal hoax ataupun fakta--hal yang berbau Raisa paling atas di linimasa mereka.

Karena kesamaan ini, ketiganya lebih saling berinteraksi like, komentar, memberikan postingan soal Raisa. Alhasil, Santi, Sinta dan Sarah berasumsi tidak ada musisi yang paling bagus selain Raisa.

Mereka inilah yang disebut terpenjara dalam satu gelembung yang sama.
Hoax, Egois dan Fanatik Berlebih di Media SosialHal yang terjadi pada efek bubble filter Foto: CNN Indonesia/fajrian
Pariser memberikan contoh lain yang terjadi di Google, dua orang temannya (Daniel dan Michael) mengetik kata "Egypt" di mesin pencari secara bersamaan. Namun keduanya mendapatkan dua hal berbeda, karena riwayat aktivitas berselancar di dunia maya.

Si Daniel mendapatkan informasi: krisis di Mesir, Protes 2011 dan Lara Logan. Sementara Michael: Travel, Liburan dan berita Mesir lainnya. Itulah yang terjadi saat ini.

Padahal perubahan news feed ini menurut Mark Zuckerberg karena "sebuah peristiwa orang yang sekarat di depan rumah Anda sekarang mungkin lebih relevan dengan minat Anda, daripada orang sekarat di Afrika.”

Maksudnya sebenernya bagus, agar pengalaman pengguna internet bisa lebih personal dan fokus. Internet ingin lebih mengerti Anda sepenuhnya.

Namun sayang, efek bubble filter tadi malah membuat seseorang terpenjara di dalam berita yang sama dan pembenaran superbodi—tanpa bisa dikritik atau dibantah karena tak mau berpikiran terbuka.

Karena Raisa belum tentu lebih baik dibandingkan Isyana kan?
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER