Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gelisah dituding melakukan pembicaraan dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin melalui telepon soal fatwa penistaan agama. Pak SBY geram karena merasa isi percakapannya disadap, dan saya pun prihatin mendengarnya.
Saya juga setuju dengan pernyataan Pak SBY, bahwa siapapun melakukan penyadapan tanpa perintah yang jelas, tanpa perintah pengadilan dan hal yang dibenarkan dalam undang-undang, adalah penyadapan ilegal. Saya semakin prihatin, apa ada pelanggaran undang-undang?
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, permintaan data atau biasa disebut sebagai permintaan
Call Data Record (CDR) memang dibenarkan.
CDR lumrah digunakan operator untuk mengetahui durasi percakapan, nomor yang dituju, dan lokasi percakapan, untuk kepentingan penghitungan tarif. CDR wajib disimpan dalam jangka waktu tertentu, biasanya tiga sampai enam bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini sejalan dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang penyelenggara telekomunikasi yang diwajibkan mencatat atau merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan.
 Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono |
Nah, Pak SBY pasti tahu, dalam UU Telekomunikasi, pemberian rekaman dibagi menjadi dua: dalam rangka pembuktian kebenaran dan keperluan proses peradilan pidana.
Jadi, seperti diatur di Pasal 40 UU Telekomunikasi, setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Hal ini juga diperkuat di UU ITE, yang disahkan saat Pak SBY memimpin.
Saya makin prihatin dan geram, siapapun yang dianggap Pak SBY menyadap, harusnya melihat Pasal 42 ayat 2 UU Telekomunikasi bahwa permintaan data telekomunikasi harus sesuai dengan proses peradilan.
Cakupan proses peradilan pidana itu sendiri, dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi, yaitu pada penyidikan, penuntutan, dan penyidangan.
Pak SBY menyebut, isi percakapan telepon yang disadap. Jika benar, ada kemungkinan Bapak menggunakan layanan
voice konvensional, bukan WhatsApp Voice atau aplikasi ponsel pintar lainnya seperti pengguna kekinian. Karena, aplikasi buatan asing itu mempunyai
enkripsi yang kuat dan perlu izin sang empunya yang biasanya ada di luar negeri.
Saya yakin, dan ini sejalan dengan pernyataan Praktisi Keamanan Vaksincom Alfons Tanujaya, bahwa ada dua metode yang mungkin bisa menyadap isi percakapan. Salah satunya dengan menyusupkan trojan (
tactical) atau bekerja sama dengan operator (
lawful intercept).
Menyusupkan trojan, kata Alfons, bisa dilakukan dengan phising e-mail, atau langsung ke ponsel bersangkutan melalui orang dalam.
Sementara melalui operator, CDR saja mereka punya, apalagi cuma membuka isi percakapan. Tetapi perlu diingat, selain diwajibkan menyimpan data pengguna, operator juga tak bisa sembarangan membuka kerahasian. Jika dilanggar, penjara dua tahun serta denda paling banyak Rp200 juta, menanti mereka.
Bicara soal CDR, saya jadi teringat soal kolega Pak SBY di Partai Demokrat, Mas Roy Suryo.
Pada 2012, saat itu Anggota Komisi I tersebut menepuk dada karena mendapatkan hak istimewa untuk membaca isi data pelanggan. (
Detikinet, 6 Juli 2012, “Roy Suryo Klaim Dapat Izin Baca Data Pelanggan”).Mas Roy mengaku membuka data pelanggan atau CDR itu untuk membongkar modus penipuan lewat SMS yang mendompleng gerakan 'Koin KPK'.
"Saat menerima pesan dari nomor tersebut, saya sudah yakin kalau itu adalah modus penipuan. Jadi saya langsung melakukan akses membaca CDR tersebut. Ya memang sudah izin dari operatornya," ujar Roy saat dihubungi
detikINET, kala itu.
 Roy Suryo (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Maksud Mas Roy saat itu baik, ingin membongkar modus penipuan yang meresahkan, namun Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sudah mewanti-wanti bahwa siapapun, termasuk Mas Roy, tidak memiliki hak untuk mengakes CDR milik operator tanpa perintah yang jelas, tanpa perintah pengadilan dan hal-hal yang dibenarkan dalam undang-undang.
(Jumat, 6 Juli 2012, BRTI: Bocorkan Data Pelanggan Bisa Dihukum Pidana.)Namun sayang, masalah Mas Roy Suryo itu tak jelas penyelesainnya.
Isu dugaan penyadapan kali ini, mestinya tak perlu berakhir serupa. Jika memang terbukti dilakukan, maka harus diusut tuntas. Karena penyadapan, baik melalui kerja sama operator mau pun penyusupan trojan, tanpa melalui alur hukum adalah tindakan ilegal.
(rdk/stu)