Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini tengah menggodok peta jalan Internet of Things (IoT) di Indonesia. Kominfo bersama kementerian dan lembaga terkait akan membuat regulasi mengenai tiga isu yang memungkinkan industri berinovasi di industri IoT.
Ketiga isu yang dimaksud adalah standar frekuensi, standar perangkat dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Penyusunan regulasi ini masih dalam tahap awal sesuai dengan perkembangan IoT secara global yang juga masih berkembang.
"Kami tidak ingin terlalu mengatur di tahap awal ini tetapi lebih ingin menciptakan playing ground gitu. Jadi biar industri itu tumbuh dulu, tidak serta merta ngatur," terang Dirjen SDPPI Kominfo, Ismail. "Dengan adanya kepastian tiga hal itu, industri bisa berinovasi. karena negara-negara lain juga masih dalam tahap awal."
Regulasi ini disebut akan berbentuk Peraturan Menteri. Kominfo menargetkan regulasi ini akan rampung pada 2018.
Standar frekuensi
Ismail menjelaskan kalau saat ini tak ada standar umum mengenai penggunaan frekuensi IoT di dunia yang bisa digunakan sebagai acuan.
"(Di) global, IoT belum rukun. Masih panas-panasnya bertempur," jelas Ismail. Pertempuran ini terjadi tiap pemain IoT menggunakan standar frekuensi berbeda. Sehingga, standar yang banyak digunakan adalah standar pembuat perangkat yang pada akhirnya juga diikuti oleh pabrikan lain.
"Semacam de facto standar yang disusun industri tertentu yang mendominasi pasar dan pengguna,” terangnya.
Hal inilah yang membuat pemerintah pusing menentukan standar frekuensi untuk IoT. Berbeda dengan penentuan frekuensi untuk industri seluler yang bisa mengacu pada ITU (International Telecommunication Union).
Di Indonesia sendiri, Ismail mengatakan kalau IoT bisa menggunakan frekuensi di atas 3,3 GHz maupun di bawah 900MHz.
"Akan ada alokasi di sana (bisnis IoT) untuk bersaing secara sehat. Kalau nggak ada frekuensi dan pakai-pakai sendiri nggak boleh. Ada beberapa opsi di frekuensi 900-an MHz yang umum digunakan di negara-negara lain. Kami juga ingin paling tidak selingkup ASEAN itu paling tidak samalah," terang Ismail pada Selasa (17/10).
Masih terkait isu frekuensi, dilema lain yang dialami pemerintah adalah soal lisensi frekuensi. Apakah akan dilisensi atau dibiarkan tak berlisensi. Jika mesti berlisensi, artinya apakah frekuensi perlu dibeli oleh operator dan produsen perangkat atau tidak.
Namun jika tidak dilisensi, pemerintah khawatir Indonesia tak bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri di industri IoT. Dengan banjirnya perangkat IoT asing yang masuk, dikhawatirkan asing bisa bebas menggunakan frekuensi tanpa melewati izin pemerintah.
"Isu frekuensi ini penting diketahui di awal. (Standar) frekuensi (IoT) ini repotnya tersebar cukup banyak. Apakah bisa adopsi semua? (Dari) pengalaman teknologi seluler, tidak efisien," tambahnya.
Kominfo tampaknya cenderung akan memberikan lisensi untuk frekuensi narrowband khusus IoT. Ismail mengaku sudah mendiskusikan penggunaan short range untuk perangkat IoT indoor. Sebagai contoh, Huawei yang sempat menggelar demo perangkat IoT pada April lalu menggunakan frekuensi 900MHz.
"Umumnya frekuensi tak berlinsensi itu digunakan untuk perangkat indoor. Ada dua bagian dari frekuensi tak berlisensir yaitu short range dan long range. Ini kita diskusi dulu yang short range. Itu untuk device kecil-kecil yang seperti bisa dihubungkan dengan Bluetooth," terangnya.
Perangkat indoor yang dimaksud Ismail termasuk perangkat rumah tangga, keamanan rumah hingga kebutuhan pabrik, atau instalasi di korporasi.
Ismail juga menjelaskan bahwa frekuensi tak berlisensi itu bisa digunakan sebagai uji coba inovasi. Namun, frekuensi uji coba hanya bisa digunakan untuk waktu terbatas dan tidak boleh komersial. "Hanya boleh untuk riset saja," katanya.
Standarisasi perangkat
Agung Harsoyo, Komisioner badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), mengatakan bahwa untuk menetapkan standarisasi perangkat ada dua opsi yang bisa diambil pemerintah. Yang pertama adalah mengadopsi standar yang telah disepakati secara global atau melakukan survei sendiri.
"Terkait dengan peralatan, kami
kan sudah punya standarnya jadi tinggal mengadopsi saja. Atau kita juga bisa pakai konsep kedua yaitu
postmarketing surveillance. Maksudnya kita biarkan (standar) digunakan dulu lalu kita nanti survei apakah baik atau tidak," terangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT