Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi I
DPR RI, Satya Widya Yudha, menyatakan bahwa pihaknya menunda jadwal rapat dengar pendapat (RDP) dengan
Facebook hingga Selasa (17/4) pekan depan.
"Betul ditunda dan dijadwalkan minggu depan," jelas Satya saat dihubungi
CNNIndonesia.com melalui pesan singkat. "Saat ini mereka sedang sibuk untuk mengikuti testimoni
CEO Facebook di Kongres Amerika," lanjutnya.
Sebelumnya, Komisi I DPR sudah menjadwalkan pertemuan dengan Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia pada hari ini (11/4) pukul 13.00. Pertemuan ini dilakukan terkait penjelasan Facebook soal bocornya data satu juta pengguna Facebook di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal yang sama juga telah dikonfirmasi oleh pihak Facebook. Putri Dewanti selaku Head of Communication Facebook menerangkan bahwa tak ada agenda bertemu DPR hari ini.
"Untuk hari ini kami tidak ada jadwal RDP dengan DPR," ungkap Putri.
Tak cuma diundur, perwakilan Facebook yang akan menghadap ke DPR pun berubah. Sebelumnya, perwakilan yang akan menghadap DPR berasal dari Facebook Indonesia. Tapi, Satya menyebut perwakilan dari regional Asia Pasifiklah yang akan menghadap.
"(Facebook) mendatangkan regional President Facebook Asia Pasific," tulis Satya. Saat ini, President Facebook Asia Pacific, dijabat oleh Den Neary.
Sebagai pengganti agenda pertemuan dengan Facebook, Satya menerangkan bahwa Komisi I akan bertemu dengan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pertemuan ini diagendakan DPR untuk menjawab kekhawatiran bocornya data lebih dari satu juta pengguna Indonesia ke Cambridge Analytica dimanfaatkan untuk mengarahkan opini pada Pemilu di Indonesia.
Sebelumnya, data pengguna Facebook ini diduga digunakan untuk mengarahkan opini pengguna di Amerika Serikat terkait pemilu di AS dan pengguna Inggris terkait keputusan
Brexit.
Zuckerberg saat ini tengah menghadiri Kongres Amerika setelah ramai tudingan bahwa perusahaan analisis data
Cambridge Analytica mengakses secara ilegal 70 juta warga AS yang kemudian diduga dipakai untuk kampanye
Donald Trump pada Pilpres AS 2016 lalu.
(eks)