Jakarta, CNN Indonesia -- Bisnis peluncuran
satelit internet dianggap seksi oleh sejumlah raksasa teknologi dunia.
SpaceX meluncurkan 60 konstelasi satelit internet ke orbit
Bumi pada akhir Mei lalu, disusul pesaingnya
Amazon dalam waktu dekat.
Proyek Kuiper yang disiapkan Amazon rencananya akan meluncurkan 3.236 satelit ke orbit Bumi. Satelit-satelit ini akan melayang berkelompok dalam 98 orbital di ketinggian 590 hingga 630 kilometer. Secara rinci, 784 satelit akan melayang di ketinggian 590 kilometer, 1.296 satelit pada ketinggian 610 kilometer, dan 1.156 satelit di ketinggian 630 kilometer.
Amazon merancang proyek Kuiper agar terhubung dengan Amazon Web Service (AWS) yang menyediakan layanan komputasi awan (
cloud computing) untuk perorangan, perusahaan, dan pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah publik pertama Proyek Kuiper berupa tiga set pengajuan yang dilakukan dengan International Telecommunication Union bulan lalu oleh Komisi Komunikasi Federal atas nama Kuiper Systems LLC yang bermarkas di Washington, D.C.
Berbeda dengan Amazon yang masih sebatas rencana, SpaceX harus menelan pil pahit lantaran sebulan setelah diluncurkan tiga satelit internetnya hilang kontak dengan pusat pengendali di Bumi.
Kendati demikian, 57 satelit SpaceX dilaporkan masih bekerja dengan sangat baik dengan 45 persen diantaranya menaikkan ketinggian dan telah mencapai orbit paling akhir yang ditargetkan perusahaan yakni 550 kilometer.
Sampah antariksa dari satelit gagal dan usangSatelit yang gagal mengorbit atau yang usia orbitnya telah berakhir akan menumpuk menjadi puing-puing. Puing satelit yang terbakar di atmosfer Bumi akan menjadi sampah antariksa hingga bisa menabrak satelit aktif dan mengganggu pengamatan ilmuwan saat meneliti material luar angkasa.
[Gambas:Video CNN]
Aerospace menjelaskan sampah antariksa yang saat ini berada di orbit Bumi berisi bongkahan satelit dan roket, roda momentum, inti reaktor nuklir dan pecahan roket yang bertabrakan dengan benda lain hingga dikhawatirkan membahayakan manusia di Bumi. Disamping itu sampah antariksa juga berasal dari satelit usang yang masa orbitnya telah berakhir.
Sampah yang mengorbit di Bumi rendah (ketinggian lebih rendah dari 2.000 kilometer) dengan kecepatan tumbukan rata-rata 21.600 mil per jam bahkan partikel kecil dari sampah itu dapat mendatangkan malapetaka.
Untuk meminimalisir bahaya, NASA sering mengganti jendela pengorbit ruang angkasa karena rusak akibat partikel yang ditimbulkan oleh sampah antariksa.
Hingga Agustus 2007 Aerospace mencatat ada 245 puing yang ditumpahkan dari suatu objek. Tumpukan puing antariksa berpotensi memicu ledakan dan tabrakan antar objek di luar angkasa.
Ledakan terjadi akibat residu propelan, baterai terlalu panas, atau dalam beberapa kasus terjadi karena kehancuran satelit yang disengaja.
Dua kejadian nahas mengakibatkan meningkatnya jumlah puing satelit di orbit. Pada 2007, China dengan sengaja menghancurkan satelit FY-1C dalam uji senjata antisatelit dan menciptakan lebih dari 3.000 pecahan objek.
Dua tahun berselang, 33 satelit aktif Iridium milik AS bertabrakan dengan 2.251 satelit Kosmos milik Rusia yang sudah tidak berfungsi lagi hingga menciptakan setidaknya 2.000 pecahan objek.
Kepala Pusat Kebijakan Penerbangan dan Antariksa LAPAN, Robertus Heru Triharjanto menilai satelit yang tengah dibangun saat ini tidak mengandung bahan-bahan beracun maupun berbahaya.
Namun ia mengimbau masyarakat untuk tetap mewaspadai sampah antariksa yang bertebaran di luar angkasa.
"Mengenai bekas roket atau satelit yang jatuh dan mencapai permukaan, mungkin bisa berdampak negatif terhadap lingkungan jika terbuat dari bahan-bahan beracun atau berbahaya. Dengan teknologi saat ini umumnya bagian roket tersebut tidak mengandung bahan-bahan berbahaya," kata Heru melalui pesan singkat yang diterima
CNNIndonesia.com, Selasa (9/7).
"Namun masyarakat tetap dihimbau untuk waspada jika ada benda antariksa yang jatuh di wilayahnya dan agar segera melapor ke Polisi atau LAPAN," sambungnya.
Selain itu Heru menyebut dampak terbesar dari puing benda langit yang tidak terpakai dapat merusak lingkungan antariksa. Sampah tersebut dapat menabrak satelit yang masih aktif bahkan mengakibatkan kerusakan.
Ia juga menjelaskan semakin banyak perusahaan meluncurkan satelit, maka semakin menambah sampah yang ada di antariksa.
"Semakin banyak orang meluncurkan satelit, semakin banyak potensi sampahnya. Studi mengenai hal tersebut sudah banyak dilakukan oleh komunitas keantariksaan dunia [termasuk di Indonesia]," jelasnya.
Menyoal apakah ada asuransi khusus yang diberikan pemerintah jika sebuah bangunan tertimpa puing sampah antariksa, LAPAN merujuk pada aturan hak dan kewajiban Liability Convention terkait kerusakan akibat benda luar angkasa.
Jika terjadi kerusakan karena benda jatuh dari antariksa, maka pemilik benda itu wajib memberikan kompensasi selain itu mereka juga wajib mendaftarkan benda antariksa miliknya ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
"Sesuai dengan Liability Convention, jika terjadi kerusakan terhadap aset karena benda jatuh antariksa, maka pemilik benda antariksa tersebut wajib memberikan kompensasi. Pemilik benda antariksa wajib mendaftarkan benda antariksa miliknya ke PBB melalui otoritas yang ada di negaranya," tutur Heru.
"Sehingga, jika mengakibatkan kerusakan penanggung jawab pertama adalah negara mendaftarkan benda antariksa tersebut, yang kemudian bisa dialihkan tanggung jawabnya ke pemilik," lanjut dia.
Heru pun sempat menyinggung dua peristiwa jatuhnya benda dari sampah antariksa yang pernah jatuh di wilayah Indonesia yaitu Sumenep, Madura tahun 2016 yang disebabkan oleh roket Falcon 9 dan Sumatera Barat tahun 2018 akibat serpihan roket Chang Zheng 3-A yang digunakan untuk meluncurkan satelit Beidou M1.
LAPAN sendiri telah membangun sebuah sistem untuk mengamati benda jatuh dari antariksa yang dapat diakses di https://orbit.sains.lapan.go.id/. Sistem ini akan memberikan peringatan kepada masyarakat jika akan ada benda antariksa yang diperkirakan jatuh ke wilayah berpenduduk.