Jakarta, CNN Indonesia --
Pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (
Kemenkominfo) telah berlangsung lebih dari dua pekan terhitung mulai Rabu (19/8) lalu.
Kemenkominfo beralasan bahwa apa yang mereka lakukan ini semata-mata untuk mengurangi sebaran hoaks atau kabar bohong di media sosial yang mengandung unsur provokasi.
Para pengamat keamanan siber pun angkat bicara mempertanyakan efektivitas pemblokiran internet yang dilakukan pemerintah. Pasalnya meski akses internet diblokir, kerusuhan kembali terjadi di Jayapura, Kamis (30/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan keterangan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, kerusuhan terjadi karena masyarakat marah karena internet diblokir. Dilaporkan juga kabel optik Telkom pun diputus oknum.
Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat pun sempat menggeruduk kantor Kemenkominfo untuk menanyakan alasan mengapa akses internet harus diblokir dan meminta untuk segera dipulihkan. Sebab, ada beberapa pelayanan publik yang dilaporkan tidak dapat beroperasi seperti BPJS dan ojek online. Sehingga, benarkah pemblokiran internet efektif?
Efek NegatifKendati demikian, pengamat media sosial Kun Arief Cahyantoro menilai langkah pemerintah tidak efektif. Dia menilai pemblokiran akses internet malah berdampak negatif.
"Menurut saya tidak efektif bahkan cenderung akan berefek negatif karena nature [alami] dari orang akan haus dengan informasi. Orang-orang akan semakin berusaha keras untuk mendapatkan akses ke informasi meskipun informasi yang mungkin didapatkan adalah informasi informal ataupun tekstual [sms] tanpa berdasarkan data fakta," kata Arief melalui pesan singkat yang diterima
CNNIndonesia.com, Kamis (29/8).
Lebih lanjut, Arief mencontohkan jika terjadi blokir internet maka akan menimbulkan konflik baru. Sebab menurutnya warga akan beradu argumen tanpa data. Oleh sebab itu menurut dia, informasi yang belum pasti kebenarannya hanya bisa dikalahkan dengan data.
"Jika terjadi pemblokiran maka yang terjadi adalah konflik antara 'omongan tanpa data vs omongan tanpa data'," tuturnya.
Sementara pengamat keamanan siber dari Vaksin.com Alfons Tanujaya mengatakan efektif atau tidaknya pemblokiran internet untuk mengurangi kabar bohong bergantung pada penetrasi internet di Papua.
Senada dengan Arief, meskipun langkah blokir internet dimaksudkan untuk meredam sebaran hoaks namun menurut Alfons banyak efek negatif yang ditimbulkan. Dia pun menceritakan salah satu temannya tidak bisa menghubungi sang anak yang tengah bertugas sebagai dokter akibat internet Papua diblokir.
"Contoh ada teman yang anaknya jadi dokter di Papua panik karena tidak bisa hubungi anaknya. Hal ini yang harus di hindari, sebisa mungkin tindak yang negatif dan fasilitasi yang positif," sambung Alfons.
Direktur Eksekutif South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menyebut pemblokiran internet yang dilakukan oleh Kemenkominfo tidak menjamin berkurangnya persebaran kabar bohong soal Papua di media sosial. Sebab, penyebar hoaks dapat berpindah wadah dengan cepat misalnya melalui pesan singkat (SMS) bahkan telepon.
"Kalau dikatakan bahwa ini untuk meredam hoaks tidak ada jaminan sebetulnya kalau diblokade hoaks itu berhenti karena dia bisa pindah medium dengan cepat, pindah ke sms atau misalkan sms itu juga diblokade bisa disebarkan mulut ke mulut," kata Damar saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (30/8).
(bersambung ke halaman selanjutnya "Cari Aktor Hoaks"...)
Di samping itu, Arief memberi contoh lain. Menurutnya pada 2017 silam, sempat terjadi kabar bohong soal pembakaran Alkitab yang dilakukan di Distrik Padang Bulan, Jayapura. Sekitar ribuan orang yang marah berkumpul di Jalan Abepura-Padang Bulan.
Saat itu massa mengepung Makorem 172/PWY dan Kediaman Kasrem 172/PWY. Dalam aksi itu, Kapolres Jayapura AKBP Tober Sirait dan ajudannya, Briptu Nyoman dianiaya dan harus dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara.
Jika merujuk kepada kasus tersebut, Arief menilai harus ada kontra opini. Artinya, institusi terkait menyebarluaskan foto sisa hasil pembakaran yang menunjukkan bahwa buku yang dibakar itu bukanlah Alkitab melainkan buku tentang komparasi agama-agama di Indonesia dan solusi ini juga bisa diterapkan untuk meredam hoaks soal Papua saat ini.
"Kontra opini di medan yang sama yakni media sosial dan internet tetapi informasi yang disebarkan adalah informasi yang memiliki data fakta bukan informasi tulisan saja. Ada hal lainnya, pihak keamanan harus mampu menelusuri jejak awal dari pembuat hoaks tersebut untuk dilakukan penindakan dan penindakan tersebut juga turut dipublikasikan sebagai informasi kontra," jelasnya.
"Beberapa kasus yang pernah kami tangani terkait hoaks di medsos, kebanyakan jejak awal dari pembuat atau
trigger bukan berasal dari daerah lokasi di mana hoaks tersebut banyak tersebar atau terimplikasi," lanjut Arief.
Solusi untuk mengurangi sebaran hoaks terkait isu Papua selain kontra opini menurut Arief adalah Kemenkominfo perlu mencabut pemblokiran internet dan melakukan pemantauan secara menyeluruh di semua layanan media sosial.
"Lakukan monitoring secara menyeluruh dan 24 jam penuh terkait penyebaran informasi hoaks lainnya yang mungkin muncul serta sebaran informasi hoaks sebelumnya untuk antisipasi di wilayah-wilayah lain yang belum kena imbasnya," pungkasnya.
Alfons menyebut cara yang efektif untuk mengurangi hoaks terkait Papua adalah segera mengidentifikasi 'aktor' dibalik kabar bohong itu. Sebab, pelaku belum tentu berasal dari Papua.
Maka institusi terkait perlu memastikan jika komunikasi dan koordinasi 'perusuh' serta penyebaran hoaks memang memanfaatkan internet atau malah memanfaatkan saluran lain seperti radio dan sejenisnya.
"Saya pikir lebih tepat di identifikasi aktor intelektualnya, lalu diberi tindakan cepat, tegas dan terukur. Ini otaknya belum tentu di Papua kok. Kalau sudah terpetakan aktor intelektualnya baru diberi tindakan," pungkas Alfons.
Selain itu, SAFEnet menilai bahwa alasan Kemenkominfo melakukan aksi blokade internet seharusnya bukan untuk meredam informasi palsu namun demi keamanan nasional.
"Jadi ini persoalan situasi keamanan nasional, maka ada permintaan untuk melakukan blokade internet di Papua dan Papua Barat. Mungkin itu lebih tepat disampaikan daripada alasan soal hoaks," pungkas Damar.
[Gambas:Video CNN]