Di samping itu, Arief memberi contoh lain. Menurutnya pada 2017 silam, sempat terjadi kabar bohong soal pembakaran Alkitab yang dilakukan di Distrik Padang Bulan, Jayapura. Sekitar ribuan orang yang marah berkumpul di Jalan Abepura-Padang Bulan.
Saat itu massa mengepung Makorem 172/PWY dan Kediaman Kasrem 172/PWY. Dalam aksi itu, Kapolres Jayapura AKBP Tober Sirait dan ajudannya, Briptu Nyoman dianiaya dan harus dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara.
Jika merujuk kepada kasus tersebut, Arief menilai harus ada kontra opini. Artinya, institusi terkait menyebarluaskan foto sisa hasil pembakaran yang menunjukkan bahwa buku yang dibakar itu bukanlah Alkitab melainkan buku tentang komparasi agama-agama di Indonesia dan solusi ini juga bisa diterapkan untuk meredam hoaks soal Papua saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kontra opini di medan yang sama yakni media sosial dan internet tetapi informasi yang disebarkan adalah informasi yang memiliki data fakta bukan informasi tulisan saja. Ada hal lainnya, pihak keamanan harus mampu menelusuri jejak awal dari pembuat hoaks tersebut untuk dilakukan penindakan dan penindakan tersebut juga turut dipublikasikan sebagai informasi kontra," jelasnya.
"Beberapa kasus yang pernah kami tangani terkait hoaks di medsos, kebanyakan jejak awal dari pembuat atau
trigger bukan berasal dari daerah lokasi di mana hoaks tersebut banyak tersebar atau terimplikasi," lanjut Arief.
Solusi untuk mengurangi sebaran hoaks terkait isu Papua selain kontra opini menurut Arief adalah Kemenkominfo perlu mencabut pemblokiran internet dan melakukan pemantauan secara menyeluruh di semua layanan media sosial.
"Lakukan monitoring secara menyeluruh dan 24 jam penuh terkait penyebaran informasi hoaks lainnya yang mungkin muncul serta sebaran informasi hoaks sebelumnya untuk antisipasi di wilayah-wilayah lain yang belum kena imbasnya," pungkasnya.
Alfons menyebut cara yang efektif untuk mengurangi hoaks terkait Papua adalah segera mengidentifikasi 'aktor' dibalik kabar bohong itu. Sebab, pelaku belum tentu berasal dari Papua.
Maka institusi terkait perlu memastikan jika komunikasi dan koordinasi 'perusuh' serta penyebaran hoaks memang memanfaatkan internet atau malah memanfaatkan saluran lain seperti radio dan sejenisnya.
"Saya pikir lebih tepat di identifikasi aktor intelektualnya, lalu diberi tindakan cepat, tegas dan terukur. Ini otaknya belum tentu di Papua kok. Kalau sudah terpetakan aktor intelektualnya baru diberi tindakan," pungkas Alfons.
Selain itu, SAFEnet menilai bahwa alasan Kemenkominfo melakukan aksi blokade internet seharusnya bukan untuk meredam informasi palsu namun demi keamanan nasional.
"Jadi ini persoalan situasi keamanan nasional, maka ada permintaan untuk melakukan blokade internet di Papua dan Papua Barat. Mungkin itu lebih tepat disampaikan daripada alasan soal hoaks," pungkas Damar.
(din/eks)