Menakar Efektivitas Vaksin Covid-19 Kala Fase Uji Klinis

CNN Indonesia
Jumat, 14 Agu 2020 11:23 WIB
Saat ini ada 200 lebih vaksin Covid-19 yang masih dalam pengembangan di seluruh dunia, sekitar 20 di antaranya masuk dalam fase uji klinis.
Ilustrasi uji klinis vaksin virus corona. (iStockphoto/Halfpoint)
Jakarta, CNN Indonesia --

Vaksin disebut menjadi satu-satunya jalan keluar terbaik dari pandemi virus corona Covid-19. Saat ini, ada 200 lebih vaksin yang masih dalam pengembangan di seluruh dunia, sekitar 20 di antaranya masuk dalam fase uji klinis.

Sebelum vaksin beredar, sejumlah pihak juga telah melakukan studi keamanan tahap awal terhadap hewan dan manusia. Bahkan, beberapa tim peneliti melakukan uji coba tantangan di mana hewan yang diberi kandidat vaksin sengaja terpapar SARS-CoV-2 untuk melihat apakah tusukan itu dapat mencegah infeksi.

Melansir Nature, studi pada kera menunjukkan bahwa vaksin melakukan pekerjaan yang baik dalam mencegah infeksi paru-paru dan pneumonia, tetapi tidak menghalangi infeksi di tempat lain di tubuh, seperti hidung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Monyet yang menerima vaksin buatan Universitas Oxford, Inggris, dan kemudian terkena virus memiliki tingkat materi genetik virus di hidung sebanding dengan tingkat pada hewan divaksinasi.

Sedangkan data pada manusia menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 mendorong tubuh untuk menciptakan antibodi penetral yang kuat yang dapat menghalangi virus menginfeksi sel. Namun, belum jelas apakah tingkat antibodi itu cukup tinggi untuk menghentikan infeksi baru dan berapa lama molekul itu bertahan di dalam tubuh.

Para ilmuwan memprediksi vaksin bakal memakan waktu lawam untuk diciptakan. Ahli virus di Universitas Wisconsin, Dave O'Connor mengatakan vaksin yang bermanfaay untuk orang-orang akan tersedia dalam waktu 12 samapi 18 bulan.

Sifat Imunitas dan Lama Vaksin Bertahan

Ahli imunologi telah bekerja dengan cepat untuk menentukan seperti apa imunitas terhadap SARS-CoV-2 itu dan berapa lama bisa bertahan. Sebagian besar upaya difokuskan pada 'antibodi penetral' yang mengikat protein virus dan secara langsung mencegah infeksi.

Penelitian telah menemukan bahwa tingkat antibodi penawar terhadap SARS-CoV-2 tetap tinggi selama beberapa minggu setelah infeksi, tetapi kemudian mulai berkurang.

Namun, antibodi itu mungkin bertahan pada tingkat tinggi lebih lama pada orang yang mengalami infeksi yang sangat parah.

"Semakin banyak virus, semakin banyak antibodi, dan semakin lama mereka bertahan," kata ahli imunologi, George Kassiotis.

Pola serupa juga terlihat pada infeksi virus lain, termasuk SARS (sindrom pernafasan akut parah). Kebanyakan orang yang menderita SARS kehilangan antibodi penetral setelah beberapa tahun pertama. Menariknya, mereka yang dalam kondisi parah masih memiliki antibodi saat diuji ulang 12 tahun kemudian.

Para peneliti belum tahu tingkat antibodi penetral apa yang diperlukan untuk melawan infeksi ulang oleh SARS-CoV-2 atau setidaknya untuk mengurangi gejala Covid-19. Sehingga, ada kemungkinan antibodi lain penting untuk imunitas.

Ahli virologi Andrés Finzi dari Universitas Montreal misalnya, berencana untuk mempelajari peran antibodi yang mengikat sel yang terinfeksi dan menandainya untuk dieksekusi oleh sel imun, sebuah proses yang disebut sitotoksisitas seluler yang bergantung pada antibodi.

Karena belum ada penanda yang jelas dan terukur di dalam tubuh yang berkorelasi dengan kekebalan jangka panjang, para peneliti harus mengumpulkan berbagai respon imun dan membandingkannya dengan respon terhadap infeksi dengan virus lain untuk memperkirakan seberapa tahan lama perlindungan itu.

Studi dari virus corona lainnya menunjukkan bahwa 'mensterilkan kekebalan', yang mencegah infeksi mungkin hanya berlangsung selama beberapa bulan. Tetapi, kekebalan yang dapat mencegah atau meredakan gejala diklaim bisa bertahan lebih lama dari itu.

Efektivitas Vaksin Corona Hanya 50 Persen

Ahli Penyakit Alergi dan Menular asal Amerika Serikat Anthony Fauci mengatakan upaya para ilmuwan untuk menciptakan vaksin Covid-19 bisa efektif memberikan perlidungan hingga 100 persen adalah hal yang mustahil.

"Para ilmuwan memprediksi vaksin virus corona yang akan diproduksi setidaknya bisa efektif 75 persen melawan virus. Atau setidaknya 50 sampai 60 persen sudah cukup aman," kata Fauci melansir BGR.

Berbicara secara virtual lewat webinar yang diselenggarakan oleh Sekolah Kesehatan Masyarakat Brown University, Fauci kemudian menekankan pentingnya kesadaran masyarakat untuk mengendalikan pandemi ketimbang berharap banyak pada vaksin.

Pasalnya, menurut dia vaksin itu berfungsi untuk mengontrol pandemi corona dengan lebih baik dan tidak lebih besar lagi, bukan berarti menghilangkan 100 persen.

"Jadi vaksin yang tingkat efektivitasnya di bawah 50 persen sudah bisa disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA)," tegas Fauci.

Sebelumnya, Komisaris FDA Stephen Hahn mengatakan akan mengesahkan vaksin virus corona selama aman dan setidaknya 50 persen efektif menangkal virus.

Hahn juga mengaku bahwa AS dan negara lain paling mungkin bisa mendapatkan vaksin yang mampu melawan virus sebesar 50 persen.

"Sebagian besar para ahli penyakit menular juga sepakat bahwa itu vaksin dengan tingkat efeketivitas 50 persen paling masuk akal. Tentu saja kami berharap bisa lebih tinggi," kata Hahn.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, vaksin yang efektif 50 persen akan kurang lebih setara dengan vaksin influenza, tetapi di bawah efektivitas satu dosis vaksinasi campak, yang sekitar 93 persen efektif.

(jps/dal)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER