Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memprediksi cuaca ekstrem akan lebih sering terjadi pada akhir Agustus.
Cuaca ekstrem pada nanti tidak hanya bersifat lokal dengan luas area kurang dari 5 kilometer. Tapi diprediksi akan berdampak di wilayah yang lebih luas dalam skala meso. Jangkauannya mencakup puluhan hingga ratusan kilometer.
"Cuaca ekstrem yang diprediksi lebih sering terjadi menjelang akhir Agustus," tulis Erma Yulihastin, Peneliti Sains Atmosfer PSTA-LAPAN dalam laman Instagram LAPAN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Erna menjelaskan pada bulan September, wilayah Indonesia diprediksi akan lebih basah dan lebih sering mengalami hujan. Akibatnya, potensi hujan dengan intensitas yang lebih tinggi dan persisten akan meningkat.
Hal ini diungkap Erna terkait dengan terjadinya hujan es yang disertai angin kencang di beberapa wilayah Jawa Barat. Hujan es dan angin kencang ini terjadi sempat terjadi di Cimahi dan Bandung Rabu (12/8). Padahal saat ini Indonesia sedang mengalami musim kemarau.
Menurut LAPAN hujan es dan angin kencang di musim kemarau ini terjadi karena beberapa hal.
1. Pengaruh Samudra Hindia dan perairan Maluku
Menurut LAPAN terjadi penghangatan suhu permukaan laut di selatan Samudra Hindia dan perairan Maluku. Meski demikian, menurut LAPAN penghangatan permukaan laut sebenarnya terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, konsentrasi area pemanasan suhu permukaan laut tertinggi terjadi di perairan Maluku dan selatan Samudra Hindia.
"Kedua wilayah ini sensitif terhadap kemarau basah di Indonesia dan telah dibuktikan melalui penelitian Xu dkk. (2020)," tulis Erna.
Kemarau basah oleh faktor regional ini disebut sering memicu pembentukan cuaca ekstrem. Frekuensinya lebih banyak ketimbang kemarau basah akibat faktor global seperti La Nina dan/atau negatif IODM.
2. Pertemuan massa udara lembab dan kering
Faktor kedua menurut LAPAN akibat pertemuan massa udara lembap dan massa udara kering.
Maksudnya, front massa udara dingin yang berasal dari Australia bertemu dengan udara lembap di perairan lokal Indonesia. Massa udara dingin bertiup dari Australia karena saat ini benua itu sedang mengalami musim dingin.
Pertemuan ini memicu hujan skala lokal (< 5 km). Pertemuan ini terkonsentrasi di kawasan Jawa Barat-Sumatra dan Maluku-Sulawesi.
Salah satu penampakan awan konvektif adalah fenomena awan "tsunami" yang sempat heboh beberapa hari lalu di pesisir barat Aceh.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyatakan hujan dengan kriteria sedang masih akan berlangsung bahkan hingga awal September 2020.
Prakirawan cuaca BMKG, Nanda Alfuadi mengatakan potensi pembentukan awan hujan masih cukup signifikan.
"Pada pertengahan Agustus hingga awal September nanti umumnya diperkirakan curah hujan berada di kriteria rendah (0 - 50 mm/dasarian) hingga menengah (50 - 150 mm/dasarian)," ujar Nanda kepada CNNIndonesia.com, Jumat (14/8).
Nanda menuturkan hujan dengan intensitas yang terjadi pada bulan kemarau juga akan berdampak pada munculnya petir dan angin kencang pada sore hari.
Lebih lanjut, Nanda berkata wilayah yang diprakirakan berpotensi terjadi hujan kategori tinggi pada pertengahan Agustus adalah Kalimantan Barat bagian utara, Sulawesi Tenggara bagian utara, Papua Barat bagian utara, dan Papua bagian tengah.
"Kemudian pada akhir Agustus adalah pesisir selatan Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalbar bagian utara, Silawesi Barat, Sulteng bagian barat, Papua Barat bagian utara, dan Papua bagian tengah," ujarnya.
Nanda tak menjelaskan secara rinci perihal cuaca ekstrem yang berlangsung beberapa hari belakangan. Namun, BMKG menyampaikan aktifnya fenomena gelombang Rossby Ekuator dengan pergerakan yang cukup persisten di Indonesia bagian Barat menyebabkan potensi peningkatan pertumbuhan awan hujan di Indonesia, khususnya di wilayah Jabodetabek.
"Faktor lain yang juga berpengaruh adalah tingginya suhu muka laut dan anomali suhu muka laut di perairan sebelah Utara dan Selatan Jawa. Kondisi ini mendukung proses penguapan yang dapat meningkatkan pembentukan awan dari proses konvektif di sebagian besar wilayah Jawa, terutama di Jabodetabek," kata BMKG, Kamis (13/8).
Peneliti Sains Atmosfer PSTA-LAPAN, Erma Yulihastin menyampaikan cuaca ekstrem di bulan kemarau disebabkan oleh dua hal. Pertama, faktor regional berupa penghangatan suhu permukaan laut.
"Kedua, pembentukan pertemuan massa udara lembab dan kering yang saat ini terjadi di berbagai wilayah dan terkonsentrasi," ujar Erma lewat akun Instagram PSTA-LAPAN, Kamis (14/8).
(jps/eks)