Seorang dokter bernama Yohanes Cakrapradipta Wibowo membuat petisi menolak vaksin Covid-19 yang akan digunakan oleh pemerintah untuk vaksinasi massal pada bulan November 2020. Petisi yang dibuat oleh Yohanes berjudul Tolak keras '"vaksin setengah jadi" tanpa transparansi data yang jelas.
Hingga saat ini, petisi yang diunggah oleh Yohanes telah ditandatangani oleh lebih dari 350 orang dari target 500. Salah satu yang telah menandatangani petisi itu adalah epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono.
Dalam laman change.org, Yohanes mengklaim sangat prihatin dengan disinformasi yang disebarkan, serta keputusan terburu-buru yang Pemerintah tentang pengadaan vaksin dan rencana vaksinasi besar-besaran pada bulan November atau Desember 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menilai belum ada vaksin Covid-19 yang aman dan ampuh hingga saat ini.
Ada tiga ppoin besar yang disampaikan oleh Yohanes, pertama seluruh vaksin dari Cina yang didatangkan (Sinovac, G42/Sinopharm, dan CanSino Biologics) belum ada yang lolos uji klinis fase III sehingga belum ada lembaga otoritas seperti Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan penggunaan vaksin-vaksin tersebut.
Kedua, Yohanes berkata dalih Emergency Use Authorization (EUA) berpotensi bermasalah dan tidak boleh dijadikan legitimasi mutlak. Apalagi EUA yang dikeluarkan oleh negara lain tanpa ada analisis data dan pertimbangan yang matang.
Contohnya di Amerika Serikat saat EUA untuk obat Hidroksiklorokuin yang dipromosikan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump tiba-tiba diterbitkan oleh Food and Drug Administration (FDA) tanpa ada penjelasan ilmiah yang logis.
Akhirnya, lanjut dia bukti riset terbaru (solidarity trial) menunjukkan obat itu tidak bermanfaat.
"(Ketiga) vaksin 'setengah jadi' ini berpotensi menimbulkan masalah baru jika timbul efek yang tidak diinginkan. Apalagi tenaga medis menjadi salah satu prioritas pemberian vaksin. Padahal sektor kesehatan sudah terpukul hebat saat pandemi ini," ujar Yohanes.
Terkait dengan hal itu, Yohanes mengajukan penolakan keras pada pemberian vaksin 'setengah jadi' itu karena tanpa transparansi data yang jelas. Dia mendesak pemerintah untuk melakukan transparansi data yang dapat diakses oleh peneliti independen dan masyarakat.
Sebab, dia berkata sampai saat ini tidak ada publikasi riset vaksin-vaksin tersebut bahkan hasil sementara sekalipun.
Ketiga, dia menolak dengan keras penggunaan vaksin sebagai jalan pintas untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam penanganan berbasis kesehatan masyarakat (3T dan 3M) selama ini.
Yohanes menambahkan skandal EUA di Amerika Serikat harus menjadi pelajaran supaya pemerintah Indonesia tidak latah untuk melakukan tindakan tanpa pertimbangan matang yang melibatkan para ahli.
Skandal EUA menunjukkan terlibatnya pihak seperti politisi yang tidak berkompeten dalam bidang riset kesehatan yang ikut-ikutan melakukan pernyataan tentang sains dan riset dapat berpotensi menimbulkan bencana lebih lanjut selain dari masalah pandemi itu sendiri.
Kelatahan dan ketidakbecusan yang sudah tercatat selama ini, kata dia mulai dari penggunaan rapid test antibodi untuk skrining dan prosedur diagnosis eski sudah ditentang ahli dan lembaga otoritas seperti WHO), tantangan balik pada riset profesor dari Harvard, sampai klaim oleh Presiden Joko Widodo tentang sudah ditemukannya obat Covid-19 (Avigan dan Klorokuin) seharusnya tidak boleh diulang terus menerus.
"Hal ini belum terkait kapasitas tes yang stagnan selama 7 bulan ini dan kemampuan pelacakan kasus yang juga jauh dari kata optimal," kata Yohanes.
Lebih dari itu, dia menyampaikan vaksin bukanlah jalan pintas dan peluru ajaib yang akan menghilangkan Covid-19 secara tiba-tiba. Penanganan berbasis kesehatan masyarakat melalui pengetesan, penelusuran, isolasi, dan pengobatan adalah prioritas utama saat ini.
"Kami tidak anti vaksin. Kami anti vaksin yang belum tentu aman dan efektif," katanya.
(jps/mik)