Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo menyatakan publikasi uji klinis sebuah kandidat vaksin Covid-19 membutuhkan waktu yang berbeda. Hal itu merespon publikasi hasil uji klinis Fase 1 dan 2 vaksin CoronaVac buatan Sinovac China yang baru diterbitkan setelah beberapa bulan selesai dilakukan.
"Publikasi memang perlu waktu, nampaknya ilmuwan yang melakukan peer review terhadap hasil uji klinis Sinovac membutuhkan data yang lebih detil," ujar Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/11).
Ahmad menuturkan Sinovac diduga membutuhkan data yang lebih detil terkait jumlah antibodi yang terbentuk pada relawan dan juga kualitas dari antibodi tersebut. Hal itu penting untuk mengetahui apakah kandidat vaksin memiliki kemampuan untuk memblok infeksi virus ketika diuji di laboratorium.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan perbandingan artikel pre print dan artikel final, dia melihat jumlah antibodi yang terbentuk kesannya tidak sebanyak antibodi yang terbentuk pada relawan vaksin Pfizer maupun Moderna.
Lebih lanjut, Ahmad menyampaikan lambatnya publikasi hasil uji klinisi vaksin Sinovac terkait dengan jumlah relawan yang menerima vaksin dalam uji tersebut. Dia membeberkan jumlah relawan uji klinis vaksin Sinovac hanya 2.500 orang.
Sedangkan Pfizer dan Moderna lebih dari 30 ribu orang. Selain itu, lokasi uji klinis Pfizer dan Moderna di Amerika Serikat juga menjadi faktor publikasi menjadi lebih cepat.
"Artinya secara statistik menemukan kasus Covid-19 pada pool relawan yang banyak tentu lebih mudah apalagi di Amerika Covid-19 sedang menggila. Maka Pfizer dan Moderna 'beruntung' melakukan uji klinis di wilayah yang lagi zona merah," ujarnya.
Kemudian, Ahmad menyinggung soal kepatuhan warga Indonesia yang menjadi lokasi uji klinis vaksin Sinovac. Dia melihat relawan Indonesia lebih patuh protokol kesehatan ketimbang warga AS.
"Jadi kemungkinannya sulit menemukan 150 kasus Covid-19. 150 adalah jumlah minimal untuk menganalisa data sementara efektivitas vaksin. Di mana akan dilihat dari 150 kasus Covid-19, berapa banyak pada grup plasebo versus grup vaksin," ujar Ahmad.
Di sisi lain, Ahmad menilai efektivitas vaksin Pfizer yang naik menjadi 95 persen, dari semula 90 persen dan Moderna 94,5 persen bukan menjadi patokan bahwa kedua vaksin itu benar-benar efektif. Sebab, dia menilai persentase itu masih berasal dari laporan sementara.
"Persentase itu baru data efektifitas sementara yang bisa dipertimbangkan bagi regulator untuk mengeluarkan izin EUA. Tapi setelah data final keluar akan dievaluasi lagi," ujarnya.
Lebih dari itu, Ahmad enggan berkomentar jika vaksin Sinovac tidak memiliki persentase efektivitas yang tinggi seperti vaksin Pfizer atau Moderna. Namun, dia mengingatkan uji klinis sebuah vaksin Covid-19 saat ini didesain untuk mencegah terjadinya sakit, bukan mencegah penularan.
Sebelumnya, kandidat vaksin corona buatan perusahaan China, Sinovac Biotech, yang tengah diuji di Indonesia, dilaporkan aman dan memicu respons imun dalam uji klinis Fase 1 dan 2.
Sinovac menyebut vaksin CoronaVac buatannya dapat ditoleransi dengan baik pada semua dosis yang diuji. Hal ini dilansir dari hasil pengujian yang diterbitkan di jurnal The Lancent dan sudah diulas oleh rekan sejawat. Vaksin Coronavac sendiri kini tengah melakukan uji tahap 3 di sejumlah negara termasuk Indonesia.
Lihat juga:Efek Samping Vaksin Corona Buatan Pfizer |