Sebanyak 1,2 juta vaksin Sinovac tiba di Indonesia pada 6 Desember. Hal ini disebut-sebut menjadi harapan akan berakhirnya pandemi Covid-19 yang sudah menghantam Indonesia kurang lebih sembilan bulan sejak Maret 2020.
Namun di sisi lain, sebagian masyarakat mempertanyakan efektivitas dan kehalalan produk vaksin Covid-19 asal China tersebut.
Selain karena belum adanya bukti medis yang meyakinkan, belum adanya kepastian dan jaminan halal menjadi salah satu faktornya. Belum lagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum mengeluarkan izin edar darurat atau Emergency Use Authorization.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas dasar itu, Pakar Biologi Molekuler, Ahmad Rusdan Utomo mendesak pemerintah dan pemangku kepentingan memberikan bukti secara gamblang kepada publik, agar dapat menjawab keraguan masyarakat soal vaksin Sinovac itu.
"Dari segi agama kita ingin benda yang disuntikkan adalah halal. Nah halal di sini ini bisa dilihat dari dua sisi yang pertama dari sisi kedaruratan urgensinya kalau memang ini suatu hal yang penting dan penting. Tentu barang haram pun bisa digunakan gitu ya," ujar Ahmad kepada CNNIndonesia TV, dikutip Selasa (22/12).
Sebagai pertahanan lapis akhir, vaksin bukanlah sebuah obat. Namun vaksin hanya akan membantu mengurangi penularan virus Covid-19. Hal lain yang menjadi perbincangan publik adalah munculnya fenomena reaksi penguatan infeksi, sehingga terjadi suatu Imunpatologis yang berat.
Namun Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Kusnadi Rusmil membantah adanya reaksi yang dikenal sebagai Antibody - Dependent Enhancement (ADE)
"ADE itu adalah suatu reaksi yang terjadi karena ada gangguan dari proses imunologi. dan ini biasa terjadi hanya pada pasien demam berdarah. Sehingga kalau ada infeksi antibodi yg terbentuk tidak sama berbeda saat SARS-Cov-2, karena virusnya memang satu, jadi dia tidak ada bermacam-macam " ujarnya.
Faktor keamanan dan keselamatan vaksin harus menjadi prioritas pemerintahan Indonesia. Untuk itu, satuan gugus Covid-19 diminta tidak terburu-buru dalam mengambil langkah vaksinasi sampai seluruh tahapan uji vaksin tuntas.
Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau Badan POM membantah kabar yang menyatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebut vaksin Covid-19 Sinovac paling lemah. Kabar hoaks tersebut juga menyebut Indonesia adalah satu-satunya negara yang memesan vaksin Sinovac.
Hal tersebut disampaikan oleh juru bicara vaksin Covid-19 dari Badan POM Lucia Rizka Andalusia melalui laman resmi Satgas Covid-19.
"Hingga saat ini, tidak ada dokumen dan informasi resmi dari WHO yang membandingkan respon imunitas 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac rendah sebagaimana ditampilkan dalam pemberitaan." ujar Lucia, Minggu (20/12).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah masyarakat Indonesia yang harus divaksin minimal 70 persen dari 260 juta orang penduduk. Artinya vaksinasi harus dilakukan minimal 180 juta penduduk, agar mendapatkan kekebalan kelompok (Herd Immunity).
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman juga pernah mengatakan hasil uji klinis vaksin corona Sinovac di Bandung harus sesuai jadwal dan tidak terburu-buru mengumumkan hasilnya.
Sebab, menurutnya keampuhan vaksin Covid-19 harus terbukti secara klinis aman dan mampu melawan infeksi SARS-CoV-2 di tubuh manusia. Untuk itu, hasil uji klinis di Bandung harus dilakukan secara mendalam dan matang hingga hasilnya bisa akurat.
"Riset vaksin butuh waktu lama, dan enggak bisa dikebut, enggak bisa diburu-buru, karena harus aman, harus terbukti berkhasiat melawan virus, jadi kita sekarang masih harus wait and see vaksinnya aman," tutur Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (16/12).
Uji klinis fase 3 vaksin Covid-19 Sinovac dilakukan di Bandung, bekerja sama dengan PT Biofarma dan Unpad. Penyuntikan dual dose baru selesai diberikan pada relawan vaksin November lalu, saat ini tim peneliti sedang menunggu hasil pembentukan antibodi dan reaksi kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).
(can/dal)