Dosen Universitas Hasanuddin (Unhas), Adi Maulana menyatakan faktor keselamatan manusia dari bencana alam ditentukan oleh banyak faktor. Dia mengatakan manusia tidak bisa hanya bergantung pada tim search and rescue (SAR) untuk menyelamatkan diri dari bencana.
"Kita bisa melihat secara real, memang perlu pengetahuan diri sendiri tentang apa itu sebenarnya literasi bencana," ujar Adi dalam webinar 'Bencana di Negeri Cincin Api' yang diselenggarakan ALMI, Rabu (10/2).
Adi menuturkan bahwa riset dari pengalaman Gempa Kobe tahun 1995 menunjukkan bahwa keselamatan manusia dari bencana ditentukan oleh dirinya sendiri (35 persen). Kemudian disusul oleh anggota keluarganya (32 persen), teman atau tetangganya (28 persen), dan oleh orang yang kebetulan berada di dekatnya (2,6 persen).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan oleh Tim SAR, kata Adi hanya 1,7 persen dan faktor lainnya sebesar 1 persen.
Berdasarkan riset Pusat Studi Kebencanaan Unhas, Adi berkata ada sejumlah masalah terkait kebencanaan di Indonesia. Pertama, dia berkata anggaran bencana di Indonesia sangat rendah.
Kedua, dia berkata banyak pihak yang skeptis atau tidak percaya terhadap sains. Ketiga, implementasi regulasi yang lemah. Keempat, kualitas infrastruktur yang rendah. Kelima, kepedulian publik yang rendah. Terakhir, kurikulum kebencanaan yang belum menjadi arus utama dalam pendidikan.
"Ini semua ternyata hulunya ada di disaster literacy. Kurangnya literasi bencana menyebabkan timbulnya masalah-masalah tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut, Adi menjelaskan literasi bencana adalah kemampuan individu untuk membaca, mengetahui, dan menggunakan informasi untuk mengambil keputusan serta mengikuti petunjuk dalam tahap bencana, yaitu tahap mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan ketika terjadi suatu bencana.
Ada empat tingkat dalam literasi bencana, yakni dasar; fungsional; komunikatif; dan kritis. Tingkatan dasar terkait dengan kemampuan membaca dan memahami ancaman. Tingkat fungsional artinya seseorang memiliki kemampuan untuk mengikuti pesan dalam panduan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan ketika terjadi bencana.
Misalnya, seseorang sudah tahu harus bersembunyi di kolong meja atau mencari tempat aman saat gempa bumi.
"Tahap komunikatif, dalam tahap ini individu sedah memiliki kemampuan lanjut dari tahap fungsional serta mampu membantu dan menangani kondisi bencana," ujar Adi.
Sedangkan tingkat kritis, Adi menyampaikan individu memiliki kapasitas untuk menganalisa informasi yang berhubungan dengan bencana. Individu juga mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul karena bencana serta mampu menjaga untuk tetap aman, tangguh, dan pulih dari bencana.
Adi menambahkan bencana harus ditangani oleh semua pihak secara berbarengan. Pihak yang terlibat antara lain pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas, dan media.
"Ujungnya dengan literasi bencana adalah membangun suatu kesadaran bersama, hidup di daerah rawan bencana alam," ujarnya.