Jakarta, CNN Indonesia --
Terdorong oleh rasa penasaran dan takjub akan segala sesuatu yang ada di alam mendorong Raden Roro Sekar Mira memilih untuk menjadi peneliti. Perempuan kelahiran Jakarta tahun 1981 itu merupakan salah satu peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 2005.
Sekar adalah salah satu alumni SMA 8 DKI Jakarta. Dia kemudian melanjutkan studinya di jurusan biologi Universitas Indonesia. Kemudian menempuh gelar master di bidang biologi kelautan di Universitas James Cook, Australia.
"Aku selalu suka bermain dan terperangah melihat dunia. Karena dunia selalu menakjubkan, jadi kayak tertarik saja fenomena alam," ujar Sekar kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, perempuan yang hobi menyelam itu sedang melanjutkan pendidikan Strata 3 di Institute of Environmental Sciences (CML), Universitas Leiden, Belanda.
Sekar bercerita menjadi peneliti merupakan hal yang asing di keluarganya. Sebab, mayoritas keluarganya bekerja di sektor minyak dan gas. Namun, keterbukaan dalam berpikir kedua orang tuanya membuat jalan menjadi peneliti berjalan lancar.
Ia mengaku fokus sebagai peneliti mamalia laut. Dalam dunia konservasi, dia menyebut mamalia laut adalah spesies yang "ikonik" dan "kharismatik".
Sekar menuturkan mamalia laut adalah spesies yang terancam punah karena banyak faktor, salah satunya ulah manusia. Dengan menjadi peneliti, dia berharap bisa berperan dalam melestarikan hewan tersebut.
Saat ini, Sekar membeberkan sampah di laut semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Bahkan, dia menyebut ada kelakar (gurauan) dalam dunia sains menyebut bahwa jumlah sampah akan lebih banyak jika perilaku membuang sampah sembarangan tidak dihentikan.
"Kita lupa bahwa laut adalah penghubung di planet kita. Jadi, 70 persen planet kita adalah air laut. Jadi, ketika kita buang ke sana, walaupun tidak kelihatan, tapi makin lama terakumulasi di sana (laut)," ujarnya.
Khusus di Indonesia, Sekar menilai kondisi konservasi alam dalam kondisi yang sedang membaik. Dia melihat ada peningkatan kepedulian, misalnya ketika mamalia laut seperti paus dan lumba-luma terdampar. Banyak masyarakat yang penasaran kenapa mamalia laut itu bisa mengalami hal itu.
Meningkatnya rasa penasaran masyarakat itu, kata Sekar harus diimbangi para peneliti. Dia berkata butuh peningkatan kemampuan peneliti untuk menganalisa lebih lanjut insiden tersebut agar valid.
"Kajadian terdampar ada setiap tahun, tapi masalahnya kita tidak benar-benar menindaklanjuti dengan studi lebih lanjut. Padahal itu adalah sarana untuk kita tahu situasi kesehatan laut kita seperti apa," ujar Sekar.
Sekar mengingatkan mamalia laut sama seperti dengan makhluk hidup lainnya, yakni saling terkait satu sama lain. Sehingga, kepunahan mamalia laut dapat mempengaruhi keseimbangan alam.
"Mamalia laut sama-sama ciptaan Tuhan. Saya menyebut mereka 'saudara-saudara kita' yang bahasanya berbeda atau bukan spesies sebenarnya punya kontribusi yang banyak lho," ujarnya.
Paus misalnya, Sekar membeberkan bahwa pergerakannya di kolom air membantu sirkulasi atau adukan dari nutrien atau massa air di lautan. Kemudian, mamalia itu juga menahan serapan siklus karbon karena bisa menyimpan biomassa hingga waktu yang sangat lama.
Adapun pengalaman menarik ketika menjadi peneliti mamalia laut, Sekar mengaku terjadi ketika menangani seekor anak duyung di Papua. Dia menyebut anak duyung itu tidak mau menjauh dari para penyelamat ketika hendak dilepas kembali ke habitatnya.
Anak duyung itu, kata dia mengira dirinya adalah induknya. Kondisi itu terjadi karena hewan itu juga memiliki insting.
"Jadi dia ngikutin saya saja mengira ibunya. Jadi saya senang sekali, wah binatang liar bisa sangat bersahabat sekali dengan manusia. Walaupun ini bisa berbahaya kalau ketemu manusia-manusia yang jahat," ujar Sekar.
Sekar menambahkan para pelajar meminta tidak ragu untuk menjadi peneliti seperti dirinya. Namun, dia meminta untuk terlebih dahulu mengenali minat dan untuk apa minat itu. Kemudian, dia juga berharap para pelajar untuk mulai menjadi kritis terhadap sesuatu, terutama jika mengenyam pendidikan di luar negeri.
"Mungkin dengan budaya ketimuran, kita suka sungkan untuk kritis terhadap sesuatu. Tapi, kalau kita mau menjadi akademisi, kita harus kritis terhadap sesuatu, jangan main percaya saja," ujarnya.
Menjadi peneliti, lanjut dia merupakan hal yang menyenangkan. Selain itu, dia mengaku bisa berkeliling dunia karena mendapat beasiswa ketika menjadi peneliti.