Praktisi pendidikan di bidang metodologi penelitian dari Universitas Paramadina, Totok Amin menantang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bisa mendorong perguruan tinggi membangun perusahaan startup dari riset akademik.
Harapan tersebut disampaikan merespon wacana Presiden Joko Widodo melimpahkan kebijakan terkait riset akademik kepada Nadiem dengan melebur Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Kemendikbud.
Totok mengatakan ide agar perguruan tinggi dapat membangun perusahaan startup menyontek dari kebijakan yang dilakukan perguruan tinggi di Amerika Serikat, Massachusetts Institute of Technology (MIT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"MIT itu punya model inkubasi. Jadi ide awal [inovasi] ada di kampus. Tapi begitu jadi besar dan komersial, dia akan bikin perusahaan sendiri. Jadi MIT itu ada satu building (bangunan) yang isinya perusahaan yang dibuat dosen, pemerintah dan sebagainya," ungkap Totok ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (13/4).
Langkah ini, kata dia, patut dipertimbangkan Kemendikbud untuk mengembangkan riset akademik di perguruan tinggi yang saat ini menurutnya memiliki banyak keterbatasan.
Totok mengatakan di Indonesia, jumlah lembaga riset di luar perguruan tinggi masih sedikit dan kualitasnya belum bisa dibilang baik. Sementara riset di perguruan tinggi terbatas anggaran dan sumber daya.
Sehingga menurutnya akan lebih efektif jika Kemendikbud memperkuat perguruan tinggi sebagai titik awal pembentukan inovasi melalui riset akademik. Namun, untuk mengembangkan inovasi tersebut dibutuhkan sumber daya manusia, infrastruktur dan biaya yang besar.
Ia menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk perguruan tinggi tidak cukup jika menjadi satu-satunya sumber dana untuk merealisasikan inovasi dari riset akademik. Salah satu contoh alternatif sumber dana, kata dia, dapat diberdayakan dari pasar modal.
Namun perguruan tinggi tidak bisa mendarat di pasar modal. Dalam hal ini, Totok menjelaskan peran dan urgensi riset dikembangkan menjadi perusahaan startup. Dengan begitu, perguruan tinggi bisa memberdayakan startup untuk mencari sumber pendanaan di luar APBN.
"Dana negara atau APBN hanya untuk tahap awal saja. Ketika masuk tahap pengembangan, harus melibatkan pasar modal dan donor, filantropi. APBN itu tidak hanya kendala jumlah dananya, tapi juga pertanggungjawaban dan batas waktunya yang rigid dan birokratis," ucap dia.
Totok meyakini hal ini sangat memungkinkan dikerahkan Nadiem, mengingat pria kelahiran Singapura itu mempunyai pengalaman sebagai pendiri perusahaan startup di bidang teknologi yang kini berkembang menjadi Decacorn.
Nadiem sendiri belum banyak berbicara soal wacana pemberian tanggung jawab kebijakan di bidang riset kepada Kemendikbud. Namun Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam meyakini langkah tersebut tepat dilakukan karena selama ini aktivitas riset masif dilakukan oleh perguruan tinggi.
"Pendidikan tinggi tidak bisa dipisahkan dari penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, lebih dari 80 persen kapasitas penelitian kita ada di perguruan tinggi," tuturnya.
Wacana penggabungan Kemenristek dan Kemendikbud sendiri sudah diketok DPR melalui Rapat Paripurna pada Jumat (9/4). Anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam mengatakan memprediksi Kemendikbud akan membentuk direktorat jenderal khusus untuk kebijakan riset.
Sementara riset di luar lingkup akademik menurutnya akan dinaungi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bakal berdiri sendiri sebagai badan pemerintah setelah Kemenristek bergabung dengan Kemendikbud.
"Lebih efektif anggarannya, ristek lebih mengarah pada pendidikan saja," jelas Ridwan.