Seorang kawan di Jayapura, Papua menyebut dirinya 'pengungsi digital'. Ia terpaksa mengungsi ke ke Manokwari, Papua Barat hanya demi mendapatkan jaringan internet.
Demi jaringan internet ini, kawan yang berprofesi sebagai dosen itu harus rela merogoh koceknya hingga Rp3,7 juta untuk membeli tiket penerbangan menempuh jarak hingga 700 km lebih.
"Gara-gara internet padam dan saya harus mengikuti pendidikan, jadi pindah kota," kata kawan ini.
Jaringan internet di Jayapura lumpuh sejak tiga pekan terakhir. Jumat, 31 April 2021 lalu, warga ibu kota Papua dan beberapa daerah lain di sekitarnya mati karena kabel optik bawah laut putus.
Jaringan cadangan yang digunakan hanya bisa memulihkan 3 persen jaringan. Alhasil warga Papua mesti mencari titik-titik tertentu untuk mendapatkan jaringan internet. Kalaupun dapat dengan kecepatan yang seadanya karena harus berebut dengan pengguna lain.
Kawan jurnalis di Papua mengeluhkan ia terpaksa harus mengirim berita melalui pesan pendek (SMS). Artinya, biaya lebih harus dikeluarkan karena jumlah karakter banyak di artikel berita membuatnya harus mengirim SMS berkali-kali yang berbayar. Telepon dan mengirim SMS masih bisa dilakukan di Jayapura.
"Kadang sampai sepuluh kali kirim SMS hanya untuk satu berita, itu juga kadang beberapa kali gagal terkirim," katanya.
Untuk menyiasati sinyal internet, warga Papua memilih untuk berada di dekat rumah sakit dan kantor-kantor pemerintah. Di lokasi ini, jaringan internet masih ada meski tak sekuat biasanya. Pemerintah mengoperasikan jaringan cadangan di tempat-tempat ini.
Namun bukan hal mudah menemukan tempat-tempat tersebut karena wilayah Papua yang sangat luas. Apalagi bagi jurnalis yang kantornya adalah lapangan tempat peliputan.
Hal yang berbeda tentu dirasakan di ibu kota negara, Jakarta dengan sinyal internet cukup kencang.
Khusus pada hari Kamis, 27 Mei lalu, sejarah jaringan internet di Indonesia tercipta. Berlokasi di Widya Chandra, komplek elite para petinggi negara di kawasan Jakarta Selatan jaringan internet generasi terbaru, 5G, diujicobakan.
Uji coba juga dilakukan di beberapa tempat lain yakni Kelapa Gading, Pondok Indah, Pantai Indah Kapuk, Bumi Serpong Damai, hingga Alam Sutera.
5G merupakan jaringan seluler generasi terbaru, jaringan generasi kelima dari pengembangan jaringan telekomunikasi nirkabel GSM di dunia setelah 4G, 3G, 2G, dan 1G. Revolusi jaringan telekomunikasi ini terjadi sekitar 10 tahun sekali.
Jaringan 1G dikenalkan pada 1980-an ketika hanya bisa digunakan untuk panggilan telepon. Tahun 1990-an jaringan 2G dikenalkan dengan tambahanfitur pesan singkat (SMS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() Closeups Photo Of Mobile Phone Connected To 5G Network |
Jaringan 3G muncul sekitar tahun 2000-an dengan membawa revolusi baru dengan dikenalkannya layanan internet yang bisa diakses di telepon genggam. Kecepatannya hanya 8 Megabit per detik, sangat lambat dibandingkan kecepatan internet saat ini.
Lantas muncul 4G tahun 2009, jaringan generasi keempat ini memboyong percepatan pengunduhan data hingga 10 kali lipat dari jaringan 3G.
Sementara jaringan 5G menawarkan kecepatan internet yang lebih cepat. Respons perangkat dan penyedia jaringan pun lebih responsif.
Jika berkaca pada generasi jaringan internet ini, Jayapura saat ini tengah menikmati jaringan internet 2G. Sungguh kontras di mana jaringan 5G tengah diujicobakan di Widya Chandra dan sejumlah komplek elite di Jakarta.
Beberapa daerah lain dibidik untuk jadi lokasi uji coba 5G ini yakni Batam, Medan, Solo, Bandung, Surabaya, Makassar, Denpasar, dan Balikpapan. Tapi yang jelas salah satu wilayah di Papua tak jadi target uji coba.
Papua jelas tak punya komplek tempat tinggal menteri seperti Widya Chandra. Papua juga mungkin dinilai tidak menguntungkan dari sisi bisnis operator seluler. Karena itu, boro-boro uji coba 5G, perbaikan jaringan internet yg 4G atau 3G pun ditargetkan baru akan selesai pertengahan Juni.
PT Telkom wilayah Papua menyatakan Kapal yang akan memperbaiki kabel optik itu baru sandar di Papua paling lambat 27 Juni. Mengisi bahan bakar selama tiga hari, kapal selanjutnya akan bertolak ke titik putus kabel, untuk mencari kabel yang putus sebelum memperbaikinya.
Menkominfo Jhonny G Plate mengatakan lokasi kabel optik yang putus berada di kedalaman 4.000 meter.
"Karenanya dibutuhkan dibutuhkan alat khusus untuk mengangkat dan melakukan penyambungannya kembali," kata Johnny.
Lumpuhnya jaringan internet di Papua ini makin menambah kesan kawasan ketinggalan. Kesenjangan memang bukan barang baru bagi Papua jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Jika Jayapura sebagai kota terbesar di Pulau Papua saja internet masih bisa lumpuh berpekan-pekan, apa kabar daerah lain di Bumi Cenderawasih seperti Pegunungan Bintang, Mappi atau Nduga.
Di era digital ini, kebutuhan akan akses internet bisa dibilang adalah barang wajib bagi warga. Apalagi di saat pandemi covid-19 ini belum berakhir di mana aktivitas masyarakat banyak bergantung pada akses internet: dari mulai memesan makanan, memasarkan barang, hingga untuk belajar dan bekerja dari rumah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua paling rendah dibandingkan provinsi lain. IPM Papua 60,44, di bawah IPM rata-rata Indonesia 71,94. Tertinggi tentu saja milik DKI Jakarta 80,77.
IPM menurut BPS adalah indikator komposit untuk mengukur capaian pembangunan kualitas hidup manusia. IPM ini menjelaskan bagaimana penduduk suatu daerah dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan , dan standar hidup layak.
Internet Barang Wajib
Sebuah kerusakan yang memutus akses kebutuhan dasar sudah mestinya dipercepat, bukan lagi hitungan hari atau pekan. Apalagi jika isunya sudah menyentuh Papua, kawasan di mana kerap muncul isu menentukan pendapat sendiri untuk mengakomodasi keinginan sebagian kelompok untuk berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jangan sampai jaringan internet di kawasan paling timur ini jadi komoditas politik yang lebih luas. Publik tentu belum lupa saat jaringan internet dengan sengaja diblokir pada Agustus 2019 lalu.
Saat itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir internetmenyusul pecahnya unjuk rasa di beberapa wilayah Papua seperti Fakfak, Sorong, Manokwari, dan Jayapura yang berujung ricuh.
![]() ilustrasi 5G) |
Demo dipicu aksi rasialisme terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, medio Agustus 2019. Saat itu, ratusan massa meneriaki mahasiswa asal Papua yang berada di dalam asrama dengan sebutan binatang.
Aksi demonstrasi disertai kericuhan terjadi terus menerus dan bergelombang di sejumlah wilayah lain.
Baru pada 11 September 2019 pukul 16.00 WIT, pemerintah melalui Kemenkominfo mencabut seluruh blokir akses internet di Papua dan Papua Barat.
Sejumlah lembaga masyarakat sipil dari mulai SAFEnet, AJI, LBH Pers, YLBHI hingga ICJR kemudian menggugat pemblokiran ini dengan tergugat Presiden Joko Widodo dan Menkominfo pada 21 November 2019.
Hasilnya gugatan dikabulkan PTUN Jakarta. Pemblokiran internet di Papua itu dinilai perbuatan melanggar hukum.
Saya kira, jika warga Papua ditanya saat ini, mereka tentu tidak atau belum butuh jaringan internet super kencang seperti 5G yang diuji coba di komplek petinggi negara Widya Chandra.
Mereka hanya butuh jaringan internet dinormalkan kembali agar tak tak perlu jadi pengungsi digital ke daerah lain.Informasi yang jadi hak warga juga bisa kembali lancar.
Karena baik warga Papua dan orang-orang lain di luar pulau itu juga butuh informasi dan berita apa yang terjadi di ujung timur Indonesia.
(asa)