Sebuah studi Universitas Oxford mengungkap mencampur suntikan vaksin Pfizer empat minggu setelah suntikan AstraZeneca bisa memberikan kekebalan imun yang lebih baik terhadap Covid-19.
Diketahui interval penyuntikan dosis pertama dan kedua dengan vaksin AstraZeneca yakni 12 Minggu. Sementara Pfizer selang waktunya 4 minggu.
Studi yang disebut Com-Cov ini membandingkan rentang waktu dua dosis campuran vaksin Pfizer dan AstraZeneca. Para peneliti menemukan dalam kombinasi apapun, mencampur suntikan vaksinasi dari dua merek ini akan menghasilkan antibodi yang tinggi terhadap virus corona.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data ini diperoleh setelah Kanada dan sejumlah negara Eropa, mulai memberikan alternatif vaksinasi untuk suntikan kedua. Mereka menawarkan vaksin Pfizer sebagai alternatif suntikan kedua setelah kasus pembekuan darah langka yang terjadi pada mereka yang mendapat suntikan AstraZeneca.
"Ini tentu menggembirakan bahwa antibodi dan respons sel T ini terlihat bagus dengan jadwal yang beragam," katanya kepada wartawan, mengutip Reuters, Senin (29/6).
Profesor di Universitas Oxford yang terlibat dalam penelitian, Matthew Snape mengatakan temuan tersebut memberi fleksibilitas terhadap peluncuran vaksin, namun tak cukup untuk merekomendasikan jadwal yang sudah disetujui secara klinis.
"Tapi saya pikir default Anda harus tetap, kecuali ada alasan yang sangat bagus dibaliknya, untuk yang terbukti berhasil," tambahnya mengacu pada jadwal vaksin yang sama dalam uji klinis.
Lembaga Aliansi Vaksin, Gavi juga mendukung pencampuran suntikan vaksin dengan sejumlah alasan. Pertama terkait kemacetan pasokan vaksin di sejumlah negara.
Selain itu, ada beberapa bukti yang menunjukkan mencampur dosis vaksin akan meningkatkan kekebalan tubuh yang lebih kuat dibanding suntikan dua dosis vaksin yang sama, seperti dikutip dari laman resmi.
Tubuh pun tak hanya kebal terhadap Covid-19 tapi juga mampu merespons adenovirus, salah satu penyebab flu biasa.
Menurut Gavi, mencampur vaksin sebelumnya sudah diterapkan oleh para ahli imunolog pada penelitian HIV.
Sebab, perlindungan terhadap virus HIV memerlukan reaksi kekebalan kompleks yang hampir tidak mungkin dicapai dengan satu jenis vaksin saja. Sebab, vaksin tertentu cenderung hanya menghasilkan satu jenis reaksi kekebalan atau merangsang satu set sel kekebalan.