Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa Indonesia akan kembali mengalami cuaca ekstrem akibat La Nina pada akhir 2021 hingga awal 2022.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengimbau masyarakat agar mewaspadai cuaca ekstrem memasuki Desember mendatang. Kondisi ekstrem seperti, hujan lebat disertai petir, angin puting beliung, berpotensi akan mulai terjadi mulai September hingga awal Januari 2022.
Ia menyebut penyebab peningkatan curah hujan ini akibat La Nina. Fenomena ini diperkirakan bisa meningkatkan curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia dengan intensitas tinggi seperti awal 2020 lalu yang menyebabkan banjir besar di Jakarta dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2020, La Nina menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat 40 persen, bahkan di beberapa wilayah sampai 80 persen. Akibatnya, sejumlah wilayah, termasuk di Jabodetabek terendam banjir parah. Banjir itu disebut-sebut lebih parah dari 2007.
"Tahun lalu meningkat hingga 40 persen. Bahkan beberapa wilayah sampai 80 persen. Ini adalah peluang akan terjadi kembali di akhir tahun nanti," jelas Dwi dalam jumpa pers BMKG, Kamis (26/8).
Apa itu La Nina?
La Nina merupakan fenomena cuaca ekstrem yang ditandai dengan tingginya curah hujan. La nina berasal dari bahasa Spanyol, yang berarti 'Gadis Kecil'. La nina terjadi karena temperatur permukaan laut selatan dan laut Pasifik di sekitar utara Australia, New Guinea, dan kepulauan Indonesia.
BMKG mengatakan La Nina ini terjadi di periode awal musim hujan Indonesia. Alhasil, La Nina bisa meningkatkan jumlah curah hujan di sebagian besar wilayah.
Dampak La Nina terhadap curah hujan di Indonesia tidak seragam, baik secara spasial maupun temporal, bergantung pada musim atau bulan, wilayah, dan kekuatan La Nina sendiri.
"Catatan historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi jumlah curah hujan bulanan di Indonesia hingga 40 persen di atas normalnya. Namun demikian dampak La Nina tidak seragam di seluruh Indonesia," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal dalam keterangan resmi (19/10/2020).
Apa yang menyebabkan terjadinya La Nina?
Menurut situs National Oceanic and Atmospheric Administration, fenomena La Nina pada umumnya didahului oleh penumpukan air laut yang telah mengalami penurunan temperatur. Angin yang mengarah ke timur dan ombak laut membantu perpindahan air laut tersebut ke permukaan melalui proses yang kompleks.
Peristiwa La Nina dikaitkan dengan konveksi yang lebih besar dari normalnya di atas benua maritim khususnya Indonesia. Hal itu biasanya akan menyebabkan curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata di sebagian besar wilayah Indonesia dan sekitarnya.
Namun demikian, dampak dari La Nina juga tergantung dari kekuatan La nina itu sendiri yang terdiri dari tiga kategori, yakni lemah, menengah, dan kuat.
"Dan perlu dicatat juga bahwa dampak dari La Nina ini tergantung juga fenomena-fenomena lain seperti Indian Ocean Dipole, kondisi panas dinginya laut di Indonesia, maupun angin monsun yang dominan juga mempengaruhi iklim di Indonesia," ujar
Kasubid Analisis Informasi Iklim BMKG Adi Ripaldi (20/10/2020).
[Gambas:Photo CNN]
Efek La Nina
Ketika La Nina terjadi, Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya. Pendinginan SML ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.
Selain pengaruh sirkulasi angin monsun dan anomali iklim di Samudera Pasifik, penguatan curah hujan di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh penjalaran gelombang atmosfer ekuator dari barat ke timur berupa MJO (Madden Julian Oscillation ) dan Kelvin, atau dari timur ke barat berupa gelombang Rossby.
Aktivitas La Nina dan MJO pada saat yang bersamaan ini dapat berkontribusi signifikan terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia. MJO di Indonesia terjadi akibat interaksi antara laut dan atmosfer di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang mengapit Indonesia.
MJO berdampak pada peningkatan curah hujan disertai angin kencang dan petir. Herizal menjelaskan fenomena MJO sendiri merupakan fenomena yang serupa dengan fenomena gelombang ekuator, namun dengan pergerakan ke arah Timur pada kisaran periode selama 22 hari di Indonesia.