Penemuan bagian kerangka wanita muda yang telah terkubur selama lebih dari 7 ribu tahun atau 70 abad telah mengungkap fakta baru tentang sejarah migrasi manusia purba.
Hal tersebut diketahui setelah para arkeolog dari Indonesia, Australia, dan Jerman telah berhasil menganalisis DNA fosil yang ditemukan tahun 2015 di Leang Panninge (Gua Kelelawar) di daerah Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, yang diketahui memiliki hubungan DNA dengan penduduk asli Papua dan Australia saat ini.
Salah satu arkeolog yang terlibat dalam penelitian tersebut adalah Iwan Sumantri, Kepala Laboratorium Arkeologi Universitas Hasanuddin, Makassar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran Parepare, 21 Desember 1959 itu pertama kali tertarik dengan dunia arkeolog saat dirinya berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan psikologi pada 1979.
Meski hanya berkuliah selama empat bulan di kampus tersebut, Iwan lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Di perpustakaan itu Iwan larut membaca Encyclopedia Amerikana yang membuka wawasan arkeologinya.
Saat berkuliah selama 4 bulan di UGM, Iwan harus kembali pulang ke kampung halamannya di Makassar karena sang Ibu meninggal. Semenjak kejadian tersebut, nenek Iwan mewanti-wanti agar dirinya berkuliah di sana saja. Alhasil Iwan pun masuk Universitas Muslim Indonesia, Makassar, dengan mengambil jurusan ekonomi untuk menyenangkan orang tuanya.
Di tahun berikutnya, 1980, Iwan melihat ada jurusan sejarah dan arkeologi di Universitas Hasanuddin. Karena ketertarikannya di dunia arkeolog, tanpa pikir panjang Iwan mendaftar di kampus tersebut. Pilihannya ini sempat mendapat tentangan dari sang ayah karena menjadi arkeolog dinilai tidak memiliki masa depan yang jelas.
Pada 2015, Iwan dan rekan-rekannya di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, melakukan penggalian di Leang Panninge. Di sana mereka akhirnya menemukan serpihan kerangka dari seorang Wanita muda berusia 70 abad yang dinamai Besse. Besse sendiri merupakan istilah dalam bahasa Bugis yang dilekatkan untuk anak perempuan.
"Pada 2015 diadakan penggalian, di bawah dua meter kita menemukan kerangka itu, bersamaan dengan artefak-artefak batu dan perkakas lain," kata Iwan kepadaCNNIndonesia.com, Kamis (14/10).
Anggota tubuh Besse sendiri yang ditemukan berupa kerangka kepala yang sudah tidak utuh serta belum memfosil.
Iwan mengatakan yang menarik dari penemuan serpihan kerangka Besse adalah bahwa ia tidak tertanam begitu saja. Artinya, dia mati tidak tertimbun langsung, tapi tampaknya ada perlakukan terhadap jasad Besse ketika baru Mati.
"Itu terbukti dengan adanya bantalan-bantalan, kalau itu terbukti dengan adanya bantalan-bantalan, bantalan di bawah kepala dan di atas kepala. Dan bantalan itu dari batu. Yang batunya tidak sama dengan struktur gua. Dia seperti batu kali," kata Iwan.
![]() |
Saat itu, tim arkeolog dari UniversitasHasanuddin belum berani untuk mengangkatBesse karena belum punya kesiapan untuk mengangkat dan menyimpannya. Selanjutnya pada 2016-2017 mereka baru berani untuk melakukan pengangkatan setelah mereka menemukan metodologi yang cocok.
Kemudian pada 2019 Iwan dan rekan-rekan mengajak Profesor Adam Brumm dari Griffith University. Ketika itu Adam Brumm sudah memiliki projek besar di Sulawesi Selatan yang dinamai Hominin in Wallacea. Adam Brumm atusias dengan itu karena terhubung dengan projek besarnya yang sudah ada 10 tahun di sana.
"Ya sudah jalan lah projek ini. Tahun 2019 saya ikut ekskavasi, untuk perluasan ekstended, dan kerangkanya sudah diangkat. Lalu kemudian atas biaya sendiri, ada beberapa orang yang datang untuk menganalisis," ujar Iwan.
Beberapa peneliti yang ikut terlibat diantaranya adalah David Bulbeck dari Australian National University yang merupakan seorang ahli arkeologi Sulawesi, untuk menganalisis petrous (tulang telinga bagian dalam). Kemudian ada juga Basran Burhan, PhD Student, Griffith University.
Basran mengemukakan pendapat "bisa tidak kita temukan petrousnya lalu kemudian kita bawa ke laboratorium yang terbaik?" gagasan tersebut disambut baik oleh Adam Brumm. Petrous dari Besse pun dibawa ke laboratorium Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig, German.
Hasil dari analisis tersebut ternyata ditemukan DNA dari petrous Besse yang memiliki DNA Denisovan. Denisovan sendiri merupakan sekelompok manusia purba yang pertama kali diidentifikasi pada 2010. Denisovan juga merupakan sepupu jauh manusia Neanderthal yang fosilnya hanya ditemukan di Siberia dan Tibet. Beberapa ilmuwan hanya memahami sedikit tentang mereka, bahkan detail tampilan tak diketahui secara luas.