Jakarta, CNN Indonesia --
Raut wajah semringah Onno W. Purbo (60) terlihat dari jauh saat bergegas menaiki anak tangga usai dipersilahkan untuk naik ke atas mimbar sebuah seminar siber di Jakarta.
Tak basa-basi, Onno memberikan pemaparan di hadapan puluhan orang, termasuk pejabat Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dalam waktu 20 menit. Selain memberi ceramah keamanan siber yang padat berisi, ia tak lupa 'menghibur' para peserta dengan celetukan jenakanya.
Pria kelahiran Bandung, 17 Agustus 1962, atau bertepatan dengan peringatan Kemerdekaan ke-17 RI itu, memancarkan aura Guru Oemar Bakrie yang tak lelah membagikan ilmu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak cuma mengajar, Onno, yang juga menjabat sebagai wakil rektor di Institut Teknologi Tanggerang Selatan (ITTS) itu, itu juga sudah sejak lama menjadi praktisi internet hingga keamanan siber.
Akun Twitter-nya, @onnowpurbo, tak jarang memberi masukan kepada para pengikut saat menemui kejanggalan dalam sistem siber. Satu per satu ia jawab meskipun pertanyaan yang diajukan tak jarang 'nyeleneh'.
Bagaimana bisa dia mencapai tahap ini?
Awal karir Onno di bidang keamanan siber tak diawali dengan latar belakang sekolah yang sejalan. Pada 1981, ia masuk di jurusan teknik elektro di Institut Teknologi Bandung (ITB). Keseharianya penuh dengan kegiatan solder komponen dan rangkaian elektronika.
Usai lima tahun lebih mengenyam pendidikan tinggi di ITB, ia melanjutkan kuliah S2 di McMaster University, Kanada (1989); dilanjut dengan S3 untuk mendalami mekanikal satelit orbit tinggi di Universitas Waterloo, Kanada (1993).
Asa setinggi langit inilah yang boleh jadi menjadi salah satu bekal dia untuk memperdalam ilmu dunia maya.
"Sekolah kagak ada hubungan sama internet, kagak ada hubungan dengan cyber security, kagak ada hubungan sama informatika IT, kagak ada," seloroh Onno sambil tertawa terbahak-bahak, saat ditemui CNNIndonesia.com, di Jakarta, Oktober lalu.
Meski begitu, Onno aktif di paguyuban Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI), yang sempat jadi tren anak muda untuk saling berkomunikasi yang dikenal dengan istilah 'ngebrik'.
Ia bersama kawan-kawanya di teknik elektro ITB 'ngulik' jaringan komunikasi radio itu untuk dihubungkan ke komputer, agar komunikasi yang terjalin tak hanya lewat audio saja, tapi juga lewat komputer.
Onno memamerkan terobosan teknologinya pada pameran komunikasi di Universitas Padjadjaran (Unpad) bersama dengan para sebayanya di ORARI.
Ayah enam anak ini mengaku tak akan melupakan momen bersejarah bagi karier internetnya. Saat itu, kondisi pameran bertepatan dengan konflik internasional, yakni saat Amerika Serikat membombardir Libya pada 1983.
"Coba kita monitoring kantor berita asing nih, terus mereka kirim pakai komputer gue monitor, kita bisa dengerin di waktu itu Amerika ngebom Libiya, jadi kita dapet berita pertama kali," kenang dia.
Masih ia ingat kode para seniornya yang juga memberi bantuan ilmu untuk menjadikan komputer menangkap sinyal radio dari walky talkie.
"Namanya Henky Bravo Golf, dia angkatan 10 tahun di atas saya, Roby Subiakto namanya, dia di IBM Indonesia, anggota ORARI. Dia ilmunya kan tinggi banget tuh, diturunkan lah ilmunya ke anak-anak gelo ini bagaimana radio bisa dihubungkan dengan komputer dan itu jadi cikal bakalnya internet IP band awal," kisahnya.
Ia mengatakan awal mula internet disambungkan ke radio itu tak ubahnya seperti Wi-Fi yang mengandalkan sinyal frekuensi radio untuk terhubung dengan jaringan internet.
Namun bedanya, saat itu hanya bisa membagikan suara saja, dan saat ini Wi-Fi bisa membagikan layanan data sehingga pengguna bisa berselancar.
Atas dasar ilmu 'ngulik' itu, ia bersama kawan-kawanya menciptakan internet murah dengan memanfaatkan sinyal radio dan ditangkap dengan wajan yang dimodifikasi dengan nama wajan bolic.
Alat besutan Onno itu memadukan dari wajan peranti memasak dengan parabola. Hasilnya, pengguna bisa merasakan sensasi berselancar dengan kecepatan 1 Mbps, kecepatan yang terbilang ngebut ketimbang Telkom yang saat itu hanya menyediakan internet dengan kecepatan 64 Kbps.
Menurut Onno, temuannya itu bisa jadi sebagai teknologi yang dapat membantu banyak masyrakat di Indonesia memperoleh internet dengan harga murah kala itu, awal 2000-an.
Meskipun niat Onno itu terbilang mulia, Kementerian Komunikasi dan Infomatika (pada 2001 namanya masih Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi, pada 2005 Departemen Komunikasi dan Informatika) memberangus temuannya.
"Mulai Kominfo turun, sweeping, hajar, diambil alatnya. Perang!" cetus dia dengan nada yang meninggi.
Padahal, kala itu dia tengah menjabat penasihat Dirjen Pos dan Telekomunikasi Kemenkominfo.
"Karena perang, saya yang saat itu jadi penasihat, saya bikin surat ke postel 'gue enggak akan pernah nginjek kantor lu sampai urusan ini selesai'. Jadi selama lima tahun saya engga nginjek dan saya perang dengan Kominfo," tuturnya.
Bukan tanpa alasan, pernyataan perang ini lantaran fenomena berbeda 180 derajat terjadi di belahan dunia lain. Bahwa, negara-negara tengah mencari cara agar warganya bisa mendapatkan internet gratis.
Situasi berbalik di halaman berikutnya...
Onno tak patah arang untuk memeratakan internet situ. Saat itu, ia diundang keliling dunia, termasuk negara-negara berkembang, untuk membagikan ilmu soal internet murah kepada warga.
Ia menceritakan, tak jarang beberapa negara bahkan takjub pada saat melihat perkakas yang disulap menjadi penangkap siyal internet, yaitu wajan bolic. "Bayangin kita tuh jadi contoh dunia dari internet wajan".
Lewat wajan bolic itu, ia sampai diundang oleh forum International Telecommunication Union (ITU) untuk memaparkan temuanya di hadapan dunia. Undangan itu datang berkali-kali.
Pengakuan dunia internasional itu membuat Kominfo luluh. Sepulang dari forum itu, Onno diberi kesempatan berbicara di dalam konferensi pers di Jakarta untuk membahas soal perangkat internet yang ia buat dengan budget miring.
"Alatnya gue tunjukin akses poin Wi-Fi, harganya Rp1,5 juta saat itu dan untuk bisa mengoperasikan ini kita harus bayar pajak seharga Rp23 juta per tahun per akses poin," ujarnya.
Lantaran konsistensinya di dunia siber itu, ia pada 2020 mendapat penghargaan bergengsi Jonathan B Postel Award. Penghargaan itu merupakan kehormatan bagi pemimpin visioner yang memperluas akses internet di Indonesia.
Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang mendapatkan penghargaan yang bergengsi tersebut. Lewat penghargaan itu ia diakui sebagai tokoh luar biasa yang sangat komit dalam pengembangan, pertumbuhan dan kekuatan internet.
"Itu cuman ada satu award, satu tahun sedunia, seperti penghargaan Nobel, dan itu penghargaan tertinggi di internet dunia," ujarnya.
Etika dunia siber
Llebih dari dua dekade setelah 'perjuangan' Onno itu, Indonesia menjadi negara yang konsumtif berinternet. Ancaman keamanan siber dan literasi digital menjadi tantangan bagi para penggunanya.
Namun, Onno menilai dunia maya saat ini di dalam negeri masih terbilang bebas merdeka. Apalagi, jika media sosial itu dilengkapi dengan enkripsi yang maksimal sehingga bisa mengamankan trafik dari setiap pengguna.
Dengan demikian, tidak ada pihak mana pun yang bisa melihat isi percakapan yang diobrolkan saat berjejaring.
Hal itu pun ia manfaatkan untuk melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah lewat media sosial. Namun, gaya berbahasanya tak bikin pihak penerima informasi bakal sakit hati.
Baginya, yang sudah khatam internet sejak 1990 itu, etika berinternet membuat dirinya sadar untuk menghargai individu lain di jagat maya.
"Semakin tinggi ilmu seseorang berarti semakin halus cara omongnya. Kalau makin rendah itu kasar pasti. Sama seperti belajar silat kan yang pemula itu bak, buk, bak buk, kalau makin tinggi ilmunya kan halus gerakannya. Begitupun di Internet. Halus kita ngomongnya, tapi sebenernya tajam," tuturnya.
Dunia peretasan Onno di halaman berikutnya...
Cerita Onno soal dunia siber juga tak jauh dari dunia peretasan, yang sudah dikenalnya mulai 1988 hingga 1989.
Saat itu, ia mencoba untuk menambahkan bagaimana fitur news network (platform tempatnya mencari ilmu 'informal') dijebol sistemnya agar mendapatkan fitur tambahan. Cara yang digunakan yaitu mengubah protokol dalam sistem tersebut.
Dari mana dapat komputer untuk meretas?
Ketika masih duduk di perguruan tinggi, Onno mendapat tugas membuar animasi di komputer terkait proyek pameran POS dari dosennya. Ia pun memanfaatkannya untuk mendapat PC dari sang ayah, Hasan Poerbo, yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekaligus profesor arsitektur di ITB.
Dia dengan anggota di Himpunan Mahasiswa Elektronik (HME) ITB membeli empat unit komputer dan saling dibuat terhubung. Lewat 'senjata' itulah, Onno dan kawan-kawan membuat divisi komputer yang isinya diskusi seputar prosesor hingga coding atau bahasa komputer.
Dengan rekam jejak dunia sibernya, Onno tak jarang diminta 'mendidik' aparatur negara dalam menangani persoalan retasan. Misalnya, saat ia diminta memberi pelatihan kepada 120 prajurit di Markas Besar TNI, di Cilangkap, Jakarta Timur.
"Jadi kejadian paling bloon di dunia. Saya diundang sama mabes TNI cilangkap, visinya bagus, mengajarkan pasukan khusus, belajar cyber security. Saya bawa alat ini server ya, saya sambungin sama WiFi, saaya sadap nih dapet password-nya, enggak dienkripsi," ujarnya.
Usai peretasan password dan username dari sebuah sistem, sejumlah pasukan khusus yang dilatihnya itu tidak memahami sisi penyerangan yang disimulasikan oleh Onno.
"Dari pagi sampe jam 3 sore saya ngomong sampai berbusa. 'Izin tanya pak, tadi seranganya sebelah mana ya pak?" kenang Onno.
"Jadi intinya sederhana, kalau ada ledakan ada serangan. Ini karena enggak ada ledakan, jadi mereka (pasukan khusus) bingung di mana seranganya? Jadi mereka enggak sadar, ilmunya segitu," tuturnya.
Tren peretasan
Sejak pertengahan 2022, muncul akun Bjorka di situs gelap. Isinya tidak kaleng-kaleng, ia menjual sejumlah data masyarakat hingga menelanjangi data pribadi para pejabat negara.
[Gambas:Infografis CNN]
Onno tak membenarkan praktik yang dilakukan Bjorka dalam membeberkan data masyarakat itu. Namun, ia juga menilai pemerintah mestinya lebih mawas diri dan mempertebal sistem keamanan. Terlebih, saat ini sudah ada Undang-undang Perlindungan Data Pengguna (UU PDP).
Selain itu, kata dia, pihak yang mengalami kebocoran data tak bisa menutupi kasus kebocoran begitu saja.
"Misalnya sudah ada laporan dari bawah, misalnya sedang kita perbaiki atau dikasih tau progresnya kaya gimana. Emang pimpinan kita ada yang ngomong kaya gitu?" tanya dia sembari menunjukkan kerutan di dahi.
"Bayangin ini yang bocor miliar data. Emang bisa ngehack 1 miliar orang? Jadi enggak mungkin satu-satu diretas, pasti diambil sekaligus. Besar itu filenya, hitungan gigabyte," tuturnya.
Menurut Onno, proses unduh data yang diklaim sebanyak 1 miliar itu memakan waktu yang lama. Ia pun menduga ada peran orang dalam.
"Lama masa enggak kedeteksi sih? Ajaib kan? Masalahnya di mana coba?"
"Enggak mungkin orang luar (yang bocorin). Pakai logika aja orang dari luar download bergiga-giga, keliatan dong sama admin," tuturnya.
Onno menyarankan baik itu lembaga negara maupun swasta untuk mempertebal sistem keamanan siber, baik lewat infrastruktur dan lebih khususnya sumber daya manusia.
Ia juga meminta lembaga pemerintahan yang mengurus siber untuk pandai 'ngulik'. Hanya saja, Onno mengakui individu yang punya ketekunan dalam mengulik sebuah hal terbilang jarang ditemui.