Konten ujaran kebencian dan jumlah akun yang sebelumnya dilarang hidup kembali meningkat tajam dalam waktu singkat sejak Elon Musk mengambil alih Twitter.
Hal itu terungkap dalam hasil penelitian dari Center for Countering Digital Hate, the Anti-Defamation League, dan kelompok-kelompok lainnya yang mempelajari platform online tersebut.
Musk sendiri mulai mengambil alih Twitter usai menyelesaikan kesepakatan senilai US$44 miliar (Rp675,9 triliun) pada akhir Oktober.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para peneliti mengungkap perubahan di era Musk ini mengkhawatirkan. Pasalnya, ada peningkatan tajam dalam ujaran kebencian, konten bermasalah, dan akun yang sebelumnya diblokir dalam waktu sesingkat itu belum pernah terjadi sebelumnya di platform media sosial arus utama.
"Elon Musk mengirim Sinyal Kelelawar (Bat Signal) ke setiap jenis pelaku rasisme, misoginis (pembenci kaum hawa), dan homofobia (pembenci LGBT), bahwa Twitter terbuka untuk bisnis," kata Imran Ahmed, kepala eksekutif Center for Countering Digital Hate, sambil menganalogikannya dengan sinyal panggilan kepolisian Gotham terhadap Batman, dikutip dari The New York Times, Sabtu (3/12).
"Mereka pun bereaksi karenanya," sambung dia.
Hasil studi-studi mengungkap sebelum Elon Musk membeli Twitter, hinaan terhadap orang kulit hitam Amerika di medsos itu rata-rata mencapai 1.282 kali per hari. Setelah orang terkaya dunia itu menjadi pemilik Twitter, jumlahnya melonjak menjadi 3.876 kali sehari.
Selain itu, penelitian mengungkap ejekan terhadap pria gay atau homoseksual di Twitter rata-rata 2.506 kali per hari sebelum Musk melakukan akuisisi. Setelah itu, angkanya naik menjadi 3.964 kali per hari.
Unggahan antisemit, yang mengacu cercaan terhadap Yahudi atau Yudaisme, melonjak lebih dari 61 persen dalam dua pekan setelah Musk mengakuisisi situs tersebut.
Tak sekadar soal ujaran kebencian. Perubahan di Twitter pasca-Elon Musk juga terjadi pada kemunculan akun yang biasanya dihapus oleh Twitter. Misalnya, akun yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Negara Islam (ISIS), yang dikategorikan sebagai kelompok teror, kembali bermunculan.
Ada pula akun yang terkait dengan QAnon, penganut teori konspirasi sayap kanan, tercatat sudah berlangganan status terverifikasi alias centang biru Twitter.
Institute for Strategic Dialogue, lembaga pemikir (think tank) yang mempelajari platform online, mengungkap dalam 12 hari pertama setelah Musk memegang kendali 450 akun yang terkait dengan ISIS dibuat, atau naik 69 persen dari 12 hari sebelumnya.
Anti-Defamation League, yang biasanya mengirim laporan rutin tentang kicauan antisemit ke Twitter, mengatakan perusahaan mulanya menindak 60 persen tweet yang dilaporkan mereka. Di era Musk, Twitter hanya menindak 30 persen-nya.
"Kami telah menasihati Musk bahwa Twitter seharusnya tidak hanya mempertahankan kebijakan yang sudah ada selama bertahun-tahun, tetapi juga harus mendedikasikan sumber daya untuk kebijakan tersebut," kata Yael Eisenstat, wakil presiden di Anti-Defamation League, yang bertemu dengan Musk bulan lalu.
Namun, kata ia, Musk tampaknya tidak tertarik untuk menerima nasihat dari kelompok hak-hak sipil dan organisasi lainnya.
"Tindakannya hingga saat ini menunjukkan bahwa dia tidak berkomitmen pada proses yang transparan yang menggabungkan praktik terbaik yang sudah kami pelajari dari kelompok masyarakat sipil," kata Eisenstat.
"Sebaliknya dia memberanikan diri untuk menjadi rasis, homofobia, dan antisemit," cetus dia.
Twitter era Musk juga membuat khawatir perusahaan media sosial mainstream lainnya, Meta, yang membawahi Facebook hingga Instagram.
Contoh kasusnya adalah soal koordinasi akun palsu. Dua anggota tim keamanan Meta yang enggan disebut namanya mengungkap kedua perusahaan sering berkomunikasi tentang masalah ini karena kampanye pengaruh negara asing, terutama China dan Rusia, biasanya menghubungkan akun palsu di Facebook ke Twitter.
Meta kemudian memberi tahu Twitter saat menemukan akun yang terkait dengan kampanye itu.
Namun kondisinya beda usai Elon Musk mengakuisisi Twitter. Email ke rekan mereka di Twitter terpental atau tidak dijawab, sebagai tanda bahwa staf Twitter tersebut kemungkinan sudah dipecat.
Merespons data di atas, Musk, dalam kicauannya, menyatakan hal itu, "benar-benar salah."
"Twitter akan menerbitkan kesan 'ujaran kebencian' (daftar yang sama yang selalu digunakan perusahaan) hari ini & setiap minggu ke depan," ia merespons kicauan warganet lainnya terkait hate speech.
Dalam data impresi ujaran kebencian yang diunggahnya, tampak gambar grafik yang kian menurun meski masih di atas angka 2,5 juta. Setidaknya, ini turun jauh dibanding dengan puncaknya pada akhir Oktober dan awal November (momentum akuisisi oleh Musk).
"Impresi ujaran kebencian (# kali kicauan dilihat) terus menurun, meskipun ada pertumbuhan pengguna yang signifikan!"
"@TwitterSafety akan menerbitkan data mingguan. Kebebasan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk menjangkau. Hal-hal negatif seharusnya & akan mendapatkan jangkauan yang lebih sedikit daripada hal positif," lanjut dia.
Musk sejak lama menyuarakan "kebebasan berpendapat mutlak" yang percaya pada diskusi online tanpa kekangan. Dia bergerak cepat untuk merombak Twitter usai akuisisi. Di antaranya, menghidupkan kembali akun mantan Presiden AS Donald J. Trump yang sempat diblokir karena tweet-nya yang memprovokasi kekerasan di Pilpres AS 2018.
Selain itu, Musk mengusulkan amnesti massal untuk akun yang ditangguhkan oleh rezim Twitter sebelumnya, serta mengakhiri penegakan kebijakan terhadap misinformasi terkait Covid-19.
(tim/arh)