Menjelajah Hingga ke Pusat Riset Camp41 di Perut Hutan Amazon
Dewi Safitri | CNN Indonesia
Rabu, 29 Mar 2023 15:10 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
AFEX adalah pusat penelitian yang melakukan riset dan eksperimen untuk mengembalikan kondisi tanah di Hutan Amazon. (CNN Indonesia/Dewi Safitri)
Manaus, Brasil, CNN Indonesia --
Hujan rintik-rintik berubah menjadi deras ketika memasuki perut hutan Amazon, Brasil, untuk menuju pusat penelitian Camp41 pada suatu hari di Oktober 2022. Jalanan pun jadi luar biasa licin, sehingga perkiraan waktu tempuh yang semula empat jam menjadi tak tentu.
Di bawah permukaan hutan Amazon yang selalu disebut sebagai bentang alam dengan kekayaan hayati tertinggi di dunia, pada dasarnya adalah tanah lempung yang sangat tandus. Warnanya kuning pucat dan keras.
Bila ada genangan air di atasnya, air akan berwarna putih karena dasar genangan yang berwarna pucat -- orang setempat menyebutnya air putih (white water). Jalanan licin yang kami lewati adalah tanah lempung ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak disarankan menjelajah jalan menuju Amazon ini selain menggunakan kendaraan 4wheel drive dipandu pengemudi berpengalaman. Sepanjang perjalanan ini saja misalnya, rombongan kami yang terdiri dari beberapa mobil sempat empat kali berhenti karena terhalang pohon tumbang.
Sopir mobil terdepan dengan sigap menghentikan kendaraan, mengambil gergaji mesin dan parang berukuran dua kali lengan orang dewasa dan kemudian membabat batang pohon yang mengganggu sehingga perjalanan bisa berlanjut.
Jalan tanah berlapis batu dan sedikit sisa aspal yang kami lewati tersebut adalah warisan kejayaan program ranch cattle (peternakan sapi dan kerbau) yang diinisiasi massal di Brasil sejak 1960-an.
Hutan dibabat, dibelah oleh jalan sepanjang puluhan kilometer yang dibangun pemerintah sebagai jalur transportasi TransAmazon -- mirip dengan proyek membelah hutan untuk membangun jalan TransPapua saat ini.
Di sepanjang jalur jalan itu kemudian pemerintah memberikan lahan masing-masing beberapa hektar serta bibit sapi per orang untuk memulai peternakan. Konsepnya mirip dengan Program Transmigrasi di Indonesia, yang marak di bawah pemerintahan Orde Baru.
Memanfaatkan jalan bekas infrastruktur peternakan dari tahun '70an untuk menuju Camp41 di perut Amazon. (Michael Dantas / United Nations Foundation)
Bedanya, program ternak massal ini kemudian berjalan sangat sukses. Begitu sukses sampai dituding menjadi faktor utama penyebab susutnya hutan Amazon di Brasil.
Diperkirakan 70-80% lahan ternak adalah tanah yang tadinya merupakan hutan hujan tropis. Program ini berhasil mendorong Brasil tumbuh jadi eksportir daging sapi nomor satu dunia dengan jumlah ternak hidup menurut FAO mencapai lebih dari 230 juta ekor tahun 2020.
Tetapi tidak semua peternak berhasil. Di banyak negara bagian, mudah ditemukan lahan peternakan yang ditinggalkan pemilik, gersang tidak terurus. Satu-satunya tanda adalah pagar-pagar kayu yang memisahkan lahan peternakan dari jalan raya.
Lanjut ke sebelah...
Pusat penelitian di dalam perut Amazon ini adalah tujuan kami. Tepatnya sebuah lokasi yang disebut Camp41, yang dikenal dunia sebagai salah satu posko riset terpenting di Amazon yang didirikan oleh Thomas Lovejoy, warga AS yang menekuni isu lingkungan di Brazil sejak 1975.
Lovejoy memulai proyek penelitian mengumpulkan data jangka panjang tentang dampak hancurnya habitat Amazon. Proyek ini dinamai Dinamika Biologi Fragmen Hutan (Biological Dynamics of Forest Fragments Project - PDBFF).
Lebih dari 40 tahun kemudian, Lovejoy berhasil membuat dunia membuka mata pada pentingnya keberadaan Amazon dan risetnya, hingga kemudian kata biodiversity (keanekaragaman hayati) menjadi istilah yang diterima dunia.
Pada Hari Natal 2021, Thomas Lovejoy meninggal dunia dan hingga hari ini ia masih disebut sebagai Bapak Keanekaragaman Hayati Dunia.
Di Camp41 kami bertemu anak didik dan para kolega Lovejoy. Selain mereka, ada saja kelompok yang datang untuk meneliti, meliput, atau sekedar berkunjung. Aktor Tom Cruise dan penyanyi lawas Olivia Newton-John, misalnya, pernah jadi tamu di kamp perut Amazon ini.
Sama seperti kami, para seleb ini tidur di bawah atap tanpa kamar, dalam kantong ayunan (hammock) di kamp. Tidak ada kamar laki-laki atau perempuan, masing-masing boleh pilih sepanjang masih tersedia tempat kosong.
Tak ada tempat tidur, apalagi kasur di tengah Amazon. Tapi ayunan ini cukup nyaman. (Michael Dantas / United Nations Foundation)
Listrik untuk penerangan, pompa air dan alat elektronik didapat dari cahaya matahari dan cadangan BBM. Sebisa mungkin penggunaan air diminta diirit supaya hemat penggunaan BBM. Listrik akan dimatikan tiap pukul 20.00 malam.
Makan-minum disediakan oleh kamp, dengan beberapa staf yang bertugas memasak dan menjaga kebersihan. Bahan makanan dipasok sekali sepekan atau bergantung pada kebutuhan penghuni kamp.
Menu sarapan di Camp41 ketika serombongan tamu internasional datang berkunjung. (Michael Dantas / United Nations Foundation)
Belasan peneliti usia muda sedang meneliti saat kami tiba.
Edrielly Carvalho masih berumur 20 tahunan dan fokus pada penelitian tentang kumbang kotoran (dung beetle) untuk studi doktoral.
"Satwa seperti kumbang yang hidupnya di tumpukan tahi satwa atau manusia ini sering dilupakan. Orang tentu lebih suka melihat burung indah atau tanaman eksotis. Padahal peran mereka dalam melestarikan ekosistem sangat penting," kata Carvalho.
Dengan berbagai bidang ilmu ini, diharapkan masing-masing akan punya kontribusi terhadap kemampuan Amazon bertahan dari kerusakan dan perubahan iklim.
Saat masih jadi hutan, tanah Amazon sangat subur karena oksigen dan unsur hara yang tersimpan dalam tumbuh-tumbuhan hidup, kayu mati, dan daun-daun yang membusuk diurai menjadi zat hara yang bermanfaat.
Namun, ketika vegetasi hutan ditebang habis, bahan organik yang ditinggalkan membusuk dan proses daur ulang nutrisinya terhenti sehingga kemudian tanah menjadi nyaris steril.
Studi Dr Lovejoy dilanjutkan Tim Mesquita tentang hutan sekunder di Amazon, atau vegetasi hutan yang tumbuh kembali setelah sempat rusak akibat eksploitasi.
Rita Mesquita adalah salah peneliti utama tentang kemampuan hutan sekunder tumbuh.
Studi sepanjang sekitar 40 tahun ini menunjukkan hutan punya kemampuan alami untuk tumbuh dengan pesat, justru ketika tak direcoki oleh tangan manusia. Ini temuan yang penting untuk upaya reforestasi di dunia.
Kabar sedihnya, meski sudah 40 tahun, hutan sekunder sama sekali belum menyerupai ekosistem asli Amazon.
"Butuh berapa tahun? Mungkin 200, mungkin 400 tahun. Kita tidak tahu. Yang jelas upaya memulihkan alam seperti Amazon akan sangat berat. Peluang terbaik kita adalah memelihara yang ada, jangan ditambah kerusakannya," tegasnya.
Hutan Amazon, Brasil, dikenal sebagai salah satu hutan dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. (CNN Indonesia/Dewi Safitri)
Mario Cohn-Haft menjelaskan kekayaan hayati Amazon dari meja panjang di halaman Camp-41.
Sebagai ahli burung (ornithologist), Mario Cohn-Haft, yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Brasil sangat berkepentingan penelitian terhadap 3.000 spesies terus berlanjut. Hingga saat ini baru sekitar separuhnya dari jumlah tersebut diteliti.
Tetapi ia khawatir Amazon terlanjur rusak oleh eksploitasi dan perubahan iklim sebelum studi tentang ragam burung dan biodiversitas di dalamnya diteliti.
"Dibanding dia (Mesquita), saya adalah orang yang optimistis. Saya ingin meyakini bahwa sekarang belum terlambat (untuk pelestarian Amazon). Tetapi beberapa studi sudah menyiratkan dugaan dampak perubahan iklim sudah berlangsung," katanya sambil tersenyum kecut.
Seperti konversionis Amazon lainnya, Mesquita dan Cohn-Haft sangat mengkhawatirkan pemerintahan Bolsonaro yang permisif terhadap perusakan Amazon.
Setelah pemerintahan Brazil berganti pun bagi mereka tidak ada jaminan untuk masa depan, karena itu tidak ada jalan memperjuangkan misi konservasi Amazon kecuali dengan meneruskan Camp41 dan PDBFF sepeninggal Thomas Lovejoy.