Jakarta, CNN Indonesia --
Meski sering terjadi dan teknologi makin maju, para pakar mengakui belum bisa memprediksi datangnya gempa lantaran hambatan geografis dan teknologi.
Sebelumnya, sesar yang belum terpetakan di Laut Jawa bergeser dan memicu rangkaian gempa signifikan dekat Pulau Bawean, Jawa Timur.
Ini dimulai pada Jumat (22/3) pukul 11.22 WIB dengan gempa Magnitudo 5,9. Gempa kuat lainnya terjadi pukul 15.52 WIB dengan M 6,5. Hingga Sabtu (23/3) pukul 12.00 WIB, total ada 167 gempa yang tercatat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun kaget dengan pecahnya energi gempa di wilayah ini.
"Jadi, kalau kita melihat apa yang terjadi di Bawean kami juga surprise," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, dalam jumpa pers daring, Jumat (22/5).
"Tentu saja ini sebuah kejadian luar biasa. Di mana, sesarnya belum terpetakan dengan kredibel," kata dia.
Terlebih, belum ada teknologi untuk memprediksi gempa.
"Kalau kita melihat konsep kegempaan yang saat ini memang kita belum bisa memprediksi gempa. Bahkan ilmu dan pengetahuan dan teknologi seismologi saat ini juga belum mendedikasikan untuk sebuah prediksi gempa," kata Daryono.
Kenapa demikian?
Mekanisme gempa
Untuk mengetahui mengapa gempa sulit diprediksi, hal yang pertama perlu dimengerti adalah bagaimana gempa bekerja.
Gempa bumi terjadi ketika sebuah patahan atau retakan di kerak bumi bergeser. Jumlah pergeseran yang lebih tinggi pada area yang lebih luas menyebabkan gempa bumi yang lebih besar.
Seluruh patahan tidak tergelincir sekaligus. Sebaliknya, gempa bumi dimulai dari satu titik, yakni suatu lokasi pada patahan yang mendapat tekanan yang lebih besar daripada kekuatannya.
Gempa bumi kecil terjadi sepanjang waktu, bahkan tercatat lebih dari 20 ribu gempa bumi di atas magnitudo 4 terdeteksi di seluruh dunia setiap tahunnya.
Peneliti ilmu gempa dan kebumian dari Cornell University Judith Hubbard menyebut gempa bumi besar dimulai seperti gempa bumi kecil, namun dengan kekuatan yang terus bertambah dan lepas sekaligus.
"Setiap peningkatan magnitudo dikaitkan dengan pecahnya patahan sekitar lima kali lebih lama," katanya, seperti dikutip dari Anadolu Agency.
Ia menuturkan gempa M 5 disebabkan oleh pergeseran pada patahan sepanjang 2 kilometer; gempa M 6 disebabkan oleh patahan sepanjang 10 kilometer;
Gempa berkekuatan M 7 sepanjang 50 kilometer; gempa berkekuatan M 8 sepanjang 250 kilometer, dan gempa berkekuatan M 9 pada patahan sepanjang 1.250 kilometer.
Hubbard mengatakan kerusakan menyebar dengan kecepatan beberapa kilometer per detik. Walhasil, gempa berkekuatan 8 SR mungkin terjadi dalam satu atau dua menit.
Ketika gempa bumi bertambah panjang, pergeseran totalnya juga bertambah. Satu sisi patahan bergerak relatif terhadap sisi lainnya, mengubah tekanan di kerak bumi di sekitarnya, dan tekanan yang diterapkan pada patahan di dekatnya.
Prediksi berdasarkan sinyal gempa di halaman berikutnya...
Para ilmuwan sudah mencari kemungkinan untuk mengetahui apakah gempa bumi kecil akan berkembang menjadi gempa bumi besar berdasarkan sinyal seismik awalnya.
Sayangnya, sebuah studi pada 2016 berjudul "Evidence for universal earthquake rupture initiation behavior" menyebut hal semacam itu tidak mungkin.
"Para ilmuwan telah menyelidiki apakah mungkin untuk mengetahui apakah gempa kecil akan berkembang menjadi besar berdasarkan sinyal seismik awalnya," kata Hubbard.
"Sayangnya, jawaban dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 tersebut adalah tidak," lanjut dia.
Dengan melihat berbagai gempa bumi dari seluruh dunia, para penulis studi menyatakan sinyal seismik awal gempa bumi kecil dan besar terlihat sama.
Salah satu hal utama yang menentukan apakah retakan kecil akan membesar atau tidak adalah kondisi tekanan yang sudah ada di sepanjang patahan.
Seiring berjalannya waktu, patahan akan menjadi lebih tertekan karena pergerakan lempeng tektonik yang lambat. Tingkat stres tergantung pada sejarah pergeseran patahan.
Tingkat tegangan ini dapat berubah oleh gempa bumi di dekatnya, yang menyebabkan pergeseran tiba-tiba pada kerak bumi. Ketika tekanan pada sesar lebih tinggi daripada kekuatan gesekannya, sesar dapat tergelincir.
Lebih lanjut, Hubbard menyebut terjadinya gempa bumi besar terjadi karena tegangan yang sudah ada sebelumnya pada area patahan besar harus mendekati kekuatan gesekan.
Sehingga, tegangan dinamis cukup untuk mendorong patahan ke tepian, mengalir secara progresif di sepanjang patahan selama puluhan atau ratusan kilometer.
"Sayangnya, tidak mungkin mengukur keadaan tegangan yang sudah ada pada suatu sesar. Sebaliknya, para ilmuwan hanya dapat memperkirakan perubahan keadaan tekanan - peningkatan tahunan gerakan tektonik, atau dampak dari satu gempa bumi terhadap patahan yang diketahui," urai Hubbard.
"Tanpa informasi mengenai tingkat tegangan absolut dan kekuatan patahan, informasi ini tidak cukup untuk mengetahui kapan suatu patahan akan terjadi."
 Foto: CNN Indonesia/Agder Maulana Infografis - Gempa bumi terbesar sejak tahun 2000 - rev1 |
Klaim ramalan gempa
Sebelumnya, beredar broadcast pesan berantai di WhatsApp yang menginfokan tentang prediksi gempa di RI dari peneliti asal Belanda Frank Hoogerbeets di Solar System Geometry Survey (SSGS).
Ia mengklaim ada kemungkinan terjadi gempa di Sulawesi, Halmahera, dan Laut Banda pada 3 dan 4 Maret 2023. Ia mendasarkan prediksi tersebut pada aktivitas seismik di beberapa wilayah di sekitar Sulawesi, termasuk Kamchatka, Kepulauan Kuril, Jepang di bagian Utara, dan Filipina.
Berita ini lantas menjadi heboh karena sebelumnya, Hoogerbeets 'berhasil' memprediksi terjadinya gempa bumi Turki awal Februari. Meski demikian, pada akhirnya ramalan pakar gadungan untuk gempa di Sulawesi itu tidak terbukti.
Dua peneliti, yakni Marniati dari Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah IV Makassar; dan Imanuela Indah Pertiwi dari Stasiun Geofisika Kelas IV Kendari, menegaskan soal ketiadaan alat prediksi gempa dalam makalah 'Gempabumi Tektonik Bisa Diprediksi?'.
"Sampai saat ini, detik ini, BMKG sebagai instansi pemerintah yang memonitoring kejadian gempabumi di Indonesia selalu menginfokan kepada masyarakat bahwa gempabumi tektonik tidak dapat diprediksi waktu kejadiannya, baik hari, tanggal, jam, menit, hingga detiknya," ujar keduanya.
"Hal yang sangat perlu diketahui bahwa wilayah Indonesia tidak dapat terhindar dari kejadian-kejadian gempabumi," tandas mereka.