Pemerintah Dinilai Setengah Hati Rebut Saham Freeport

Diemas Kresna Duta | CNN Indonesia
Senin, 31 Agu 2015 19:44 WIB
Pada Oktober 2015, Freeport diwajibkan melepas 10,64 persen sahamnya ke pemerintah dari total 30 persen saham yang harus dilepas ke publik nasional.
Kota Tembagapura, konsentrat yang digali Freeport berupa tembaga, emas dan perak, dan kegiatan operasional di tambang Papua. (Dok. Freeport)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kalangan pengamat menilai pemerintah tak serius untuk mengambil alih saham sejumlah perusahaan tambang asing mengingat sampai saat ini belum punya kajian dan persiapan yang matang.

Salah satu perusahaan tambang yang mendapat sorotan adalah PT Freeport Indonesia (PTFI) yang pada Oktober 2015 harus melepas 10,64 persen sahamnya guna melengkapi 9,36 persen saham yang telah dikantongi pemerintah.  

Divestasi tersebut merupakan bagian dari kewajiban perseroan melepas 30 persen sahamnya ke nasional sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara untuk 10 persen saham yang akan tersisa, mekanisme pengalihannya baru akan dilakukan pada 2020 dan 2025 masing-masing sebesar 5 persen, jika kontrak pertambangan perusahaan tersebut diperpanjang.

"Yang terlihat sekarang kan, pemerintah seakan setengah hati mengambil alih saham Freeport. Coba kita lihat, persiapan apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengambil alih saham Freeport. Tidak ada info yang jelas kan?" ujar Budi Santoso, pengamat Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRSS) di Jakarta, Senin (31/8).

Budi pun mengingatkan pemerintah untuk seksama dalam menghitung nilai wajar saham (valuasi) saham perusahaan tambang emas Amerika Serikat (AS) itu. Hal itu dinilai penting agar pembelian saham Freeport tidak melewati harga wajar yang didasarkan pada aset murni perusahaan saat ini.

"Jadi yang harus dihitung itu adalah aset Freeport yang tidak termasuk dengan cadangan mineral pada 2021 atau 2041 jika dia diperpanjang. Karena cadangan mineral itu sejatinya punya negara, bukan perusahaan," jelas Budi.

Sementara itu, mantan Direktut Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon Sembiring menilai terdapat sejumlah  kejanggalan di dalam penerbitan PP 77/2014 yang mengatur soal divestasi saham perusahaan tambang. Satu diantaranya ihwal mekanisme penerbitan PP yang baru diterbitkan dua minggu menjelang lengsernya Soesilo Bambang Yudhoyono dari (SBY) dari kursi orang nomor satu di Indonesia.

"Yang kedua soal penetapan besaran saham yang wajib dilepas Freeport yakni 30 persen karena perusahaan ini mau mengembangkan underground mining. Ingat, ketentuan dari kewajiban divestasi itu awalnya bukan dari metode pertambangan, melainkan keinginan pemerintah untuk mengedepankan kepentingan nasional dengan memiliki 51 persen saham perusahaan tambang asing," katanya menegaskan.

"Jadi kenapa sekarang jadi 30 persen?" ujarnya melanjutkan. (ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER