Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina Hulu Energi (PHE) berencana menggelontorkan belanja modal sebesar US$507,7 juta, setara Rp6,75 triliun (asumsi kurs Rp13.300 per dolar Amerika Serikat) sepanjang tahun 2017. Angka ini meningkat 69,06 persen dibanding realisasi belanja modal tahun lalu dengan besaran US$300,3 juta.
Direktur Utama PHE Gunung Sardjono Hadi mengatakan, penambahan belanja modal dilakukan untuk mencapai penambahan target produksi perusahaan.
Pada tahun ini, PHE menargetkan produksi minyak sebesar 64 ribu barel per hari, atau meningkat 2,4 persen dibanding realisasi tahun 2016 sebesar 62,5 ribu barel per hari. Sementara itu, target produksi gas diharapkan bisa meningkat 6,51 persen dari realisasi tahun lalu 722 MMSCFD ke angka 769 MMSCFD.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Melihat secara keseluruhan, kami akan naikkan produksi sehingga kegiatan investasi juga akan ditingkatkan. Maka dari itu, akan ada tambahan aktivitas oeprasional di beberapa wilayah kerja," jelas Gunung, Kamis (15/3).
Ia menjelaskan, uang itu akan digunakan untuk mengebor 16 sumur pengembangan, dan memperbaiki produksi 57 sumur sehingga tercipta tambahan cadangan terbukti (P1) sebesar 96,51 juta setara barel minyak (MMBOE).
 Aktivitas kilang lepas pantai. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Di samping itu, biaya investasi juga akan digelontorkan untuk penambahan delapan sumur eksplorasi sehingga didapatkan cadangan tambahan (2C) sebesar 185,73 MMBOE.
"Selain itu, dengan berbagai aktivitas ini, kami berharap bisa memperbaiki Reserve Requirement Ratio (RRR), atau rasio antara penambahan cadangan migas terhadap produksi migas yang kami lakukan. Selama ini kan RRR masih berada di angka 70 persen, kami ingin angkanya di atas 100 persen agar produksi kami bisa
sustain dan terus bertambah," imbuhnya.
Kendati demikian, belanja modal ini tak akan dialokasikan ke seluruh 53 Wilayah Kerja (WK) yang dioperatori perusahaan. Gunung mengatakan, sebagian besar investasi ini akan diperuntukkan bagi blok Offshore North West Java (ONWJ) dan West Madura Offshore (WMO).
Pasalnya, PHE sudah mendapatkan kepastian terkait perpanjangan operasi di dua WK migas tersebut. Sebagai informasi, masa kontrak WMO akan habis di tahun 2031 dan ONWJ akan selesai di tahun 2038.
Ia mengaku tak mau terlalu agresif berinvestasi di blok-blok migas yang kontrak bagi hasil produksinya (
Production Sharing Contract/PSC) akan memasuki masa kedaluwarsa.
Alasannya, ia tak mau ada perselisihan (
dispute) ihwal perhitungan keekonomian proyek jika blok-blok migas ini meninggalkan PSC
cost recovery dan menganut rezim PSC
gross split selepas masa kontraknya berakhir.
Dalam hal ini, ia berkaca pada implementasi
gross split di blok ONWJ, di mana terdapat biaya yang belum dipulihkan pemerintah (
unrecoverable cost) sebesar US$453 juta.
"Implementasi
gross split ini menjadi tantangan tersendiri. Apalagi, angka depresiasi aset kami setiap tahun terbilang besar, karena periode depresiasi di setiap WK kami berbeda-beda."
"Jika investasi terus ditambah, ditakutkan akan ada biaya-biaya aset yang belum terdepresiasi (
undepreciated cost) dan belum masuk
cost recovery jika nanti PSC-nya berubah jadi
gross split," tambah Gunung.
Akibat hal itu, Gunung mengatakan bahwa angka investasi ini belum termasuk persiapan pengelolaan enam WK migas baru yang akan dikelola mulai tahun 2018 mendatang, yang rencananya juga akan menganut PSC
gross split."Masalah perubahan dari PSC konvensional ke
gross split ini memang
concern investasi kami sepanjang tahun ini," pungkas Gunung.
Sebagai informasi, sebelumnya pemerintah telah melakukan terminasi atas delapan blok migas dan selanjutnya ditugaskan kepada Pertamina.
Enam blok di antaranya akan dikelola oleh PHE, yaitu blok South East Sumatera, blok Tengah, blok North Sumatera Offshore, blok Attaka, dan dua WK yang dikelola dengan skema
Joint Operating Body (JOB), yaitu JOB Ogan Komering dan JOB Tuban.