Depok, CNN Indonesia -- Biasanya, karakteristik seorang guru yang mengajar dalam sekolah beridentitas agama tertentu akan berbanding lurus dengan habitat sistem sekolah tersebut. Minimal dalam gaya berbicara, cara berpikir hingga sebutan kesehariannya. Sebagai contoh, di sekolah berbasis pesantren, rata-rata kita akan saling mendengar kata “Ustadz!”, “Ana-Antum” sebagai kata sapaan.
Intinya, kita akan melihat pola homogen dalam keseharian itu. Memang unik dan khas, namun pada saat tertentu justru membosankan atau malah menimbulkan relasi kuasa yang terlihat semu karena ada pengkastaan perkara bahasa. Bagaimana jika para santri menemukan sesuatu hal yang berbeda?
Inilah cerita pengalaman saya saat di sekolah. Serunya menjadi pembeda untuk menjadi pembelajar bersama murid-murid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya adalah guru bidang studi sosiologi di sebuah SMA di bilangan Jakarta Selatan. Sekolah ini berbasis boarding school dan memiliki program unggulan yakni menghafal Quran. Berarti, dalam benak pembaca, sudah tahu kan bagaimana sifat dan rutinitas mereka? Ya, sangatlah Islami. Mereka sanggup menghafal Juz 30 dengan mudah.
Lucunya, kondisi ini sangatlah berbanding terbalik dengan diri saya baik secara personal maupun akademis saya. Saya boleh dikatakan kurang pengetahuan agamanya, sedang Ustadz dan Santri sepertinya melebihi saya. Mereka lebih suka menggunakan baju koko dan celana ngatung, saya lebih suka menggunakan kemeja dan celana bahan, terkadang memakai jeans. Mereka lebih suka membaca buku-buku Shirah Nabawiyah, saya lebih suka membaca buku Teori Sosiologi.
Pertanyaannya, apakah kontras itu membuat interaksi saya dengan para santri menjadi jauh dan bermasalah? Justru tidak. Justru, dengan bertemunya dua dunia yang berbeda ini, kami jadi bisa banyak belajar. Dialog adalah kuncinya.
Saya tetap menempatkan sosiologi sebagaimana mestinya tanpa mengurangi daya kritisnya. Mereka juga tetap menempatkan diri mereka pada keyakinan-keyakinan mereka ketika belajar. Kami sering berbeda pendapat tetapi bukan untuk saling menyalahkan, justru menjadikan itu sebagai momen untuk menambah wawasan.
Satu prinsip yang saya pegang untuk mempertemukan diri mereka dengan saya adalah memahami. Memahami adalah kata kerja dasar yang paling diperlukan untuk memulai sebuah dialog. Kita berinteraksi bukan satu arah tetapi dua arah: Baik secara lisan hingga pada saat ujian tertulis.
Apa contohnya? Banyak sekali. Saya terkadang sebelum benar-benar memulai proses pembelajaran, membicarakan film-film terbaru apa yang sedang tayang, apa genre film kesukaan mereka. Bahkan terkadang tentang game atau komik. Apa berita yang paling terbaru untuk didiskusikan selama 5-15 menit. Sesuatu yang dalam penglihatan saya jarang dilakukan oleh guru-guru lain di sekolah itu. Sesuatu yang menurut guru-guru lain ‘tidak bermanfaat’.
Saya tidak melakukannya sekedar untuk formalitas supaya mereka senang atau hal lainnya tetapi justru agar saya dapat menemukan diri mereka, memperpendek jarak relasi guru-murid.
Tidak hanya mereka yang memahami cara mengajar saya di kelas. Tidak hanya mereka yang hanya belajar pengetahuan tentang disiplin ilmu sosiologi di kelas. Saya pun juga banyak belajar dari mereka. Mereka juga adalah guru saya.
Saya tidak malu mengakui di depan mereka bahwa pengetahuan agama saya kurang. Mereka mengajari saya banyak hal. Dan, percaya atau tidak, saya bahkan sesekali belajar mengaji dengan mereka.
Itulah, dari perbedaan, Saya dan para santri saling belajar untuk menjadi pembelajar. Sekali lagi, kuncinya adalah dialog.
Semoga menginspirasi. Salam.
#LombaMenulisHardiknas
(ded/ded)