Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) menyatakan mereka masih diperlukan untuk mengawasi kerja dan kegiatan yang dilakukan oleh kontraktor hulu migas dalam mengeksplorasi dan memproduksi minyak mentah dan gas alam. Alih-alih dibubarkan, pemerintahan baru dinilai akan tetap memperhatikan tata kelola migas yang efektif.
"Ibarat kontraktor itu sebagai penggarap sawah, mereka perlu pengawas karena hasil berasnya dibutuhkan untuk pangan masyarakat," kata Kepala Subbagian Komunikasi dan Protokol SKK Migas Zudaldi Rafdi dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (9/9).
Menurut dia, hambatan kontraktor dalam menemukan cadangan migas saat ini terkait banyaknya izin yang perlu diselesaikan sebelum bisa melakukan kegiatan eksplorasi. Jika sebelumnya perijinan dilakukan di tingkat pusat, sedangkan sejak otonomi daerah, perijinan ditangani daerah. "Jumlahnya menjadi jauh lebih banyak dan jenisnya beragam," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zudaldi juga menyinggung visi, misi dan program Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang telah diserahkan ke KPU. Dalam misi dan visi itu disebutkan, pasangan presiden dan wapres terpilih ini akan berkomitmen menyusun tata kelola migas yang efektif dan efisien untuk membangun industri migas nasional yang berorentasi pada kedaulatan energi.
Pembubaran BP Migas pada 2012 dan diubah menjadi SKK Migas, kata dia, menimbulkan ketidakpastian sehingga berdampak pada kurangnya investasi dan kegiatan pengembangan. Dalam jangka pendek, pemerintahan Jokowi-JK akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sedangkan, dalam jangka menengah akan merevisi undang-undang Migas yang lebih Merah Putih, yang berkarakter nasional dan akan memberikan kepastian hukum secara permanen.
Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla kemarin menyatakan kinerja SKK migas tidak efisien. Sebab, dengan jumlah pegawai ribuan orang, namun produksi minyak terus menurun ke angka 840 ribu barel per hari. Padahal, ketika fungsi pengawas kontraktor tersebut masih di bawah BUMN Pertamina melalui BKKA Migas, produksi minyak bisa mencapai 1,6 juta barel per hari.
Ditanya terkait keberadaan SKK Migas ke depan, Jusuf Kalla belum dapat memastikan kebijakan yang akan ditempuh kelak. "Nanti lah, kalau dibahas sekarang bisa ribut," kata dia.
Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai keberadaan semacam Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi masih diperlukan dalam sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). "Fungsi dan kedudukan lembaga seperti SKK Migas diperlukan dalam sistem PSC," katanya di Jakarta.
Menurut dia, lembaga tersebut dalam UU Nomor 8 Tahun 1971 juga ada meskipun berbentuk unit tersendiri di dalam internal Pertamina. Namun, dia mengakui, bentuk lembaga tersebut perlu diformulasikan agar sesuai konstitusi dan lebih efektif.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Nasional Demokrat Kurtubi mendesak Pemerintahan baru untuk segera membubarkan SKK Migas. Menurutnya, kinerja SKK Migas saat ini cenderung mengedepankan kepentingan asing dan cenderung merugikan negara.
“Sederhananya bisa dilihat dari persoalan angka lifting yang selalu turun dan juga peningkatan besaran cost recovery yang terus melonjak tiap tahun,” katanya.
Oleh karena itu, Kurtubi menyarankan agar Pemerintah mengembalikan kewenangan SKK Migas harus dilebur kembali ke Pertamina seperti dulu (BKKA Migas). “Kalau dibawah Pertamina, nantinya skema migas bakal B to B dan tidak lagi G to B. Tapi tetap bisa diawasi,” tutur dia.