Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam beberapa tahun terakhir, pencapaian makroekonomi selalu di bawah ekspektasi. Selain karena faktor eksternal akibat perlambatan ekonomi global, terdapat masalah klasik yang selalu menggerogoti ekonomi nasional. Bak penyakit tumor, yang memperlemah sendi perekonomian. “Tumornya itu adalah subsidi energi,” ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani kepada CNN Indonesia, kemarin.
Konsumsi BBM bersubsidi yang terus meningkat, menurut Askolani, menimbulkan dampak negatif berganda ke hampir semua sektor ekonomi. Pertama,mendorong kegiatan eksplorasi sektor minyak dan gas secara berlebihan sehingga menguras ladang minyak nasional. Harapan akan produksi dari blok minyak Cepu baru dapat terealisasi penuh pada pertengahan tahun depan, padahal itu salah satu sumber yang bisa menambah lifting minyak pada 2015 yang ditargetkan mencapai 900 ribu barel per hari, dari target awal 845 ribu barel.
Kedua, importasi BBM melonjak dan memukul neraca perdagangan Indonesia (NPI) guna memenuhi kebutuhan konsusmi BBM dalam negeri yang semakin tinggi. Di tengah penurunan nilai impor pada Juni 2014 sebesar US$ 14,05 miliar atau turun 10,47 persen dari periode yang sama tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor minyak dan gas justru meningkat 22,44 persen menjadi US$ 761,6 juta. “Di sini, orang menganggap harga energi itu murah, lebih murah dari air mineral, seharusnya energi itu bukan barang murah,” tutur Askolani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kombinasi antara perlambatan ekonomi global dan kinerja negatif perdagangan internasional memukul seluruh masyarakat hampir di seluruh lapisan ekonomi. Meskipun kebijakan itu keliru, Askolani mengatakan pemerintah tak berdaya untuk mencabut atau bahkan mengurangi subsidi energi. Dalam lima tahun pemerintahan Kabinet Ekonomi Bersatu II, setidaknya sudah berulang kali Kementerian Keuangan mengusulkan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban fiskal, “tapi selalu ditolak DPR,” ungkap Askolani.
Dampak dari tingginya angka subsidi telah mengurangi kemampuan belanja produktif pemerintah, yang seharusnya menjadi stimulus bagi perekonomian nasional. Di sisi lain, pemerintah tidak mungkin mengurangi belanja rutin seperti gaji pegawai, meskipun dalihnya efisiensi sudah diupayakan.
Shortfall PenerimaanKebutuhan belanja yang semakin besar memerlukan pembiayaan yang juga tak sedikit. Sektor perpajakan yang dianggap sebagai lumbung keuangan Negara ternyata tak bisa diandalkan. Kementerian Keuangan, yang membawahi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), berdalih kondisi ini akibat perlambatan ekonomi dunia sehingga aktivitas ekspor menurun. Sementara, belanja pemerintah terkuras untuk menyubsidi bahan bakar.
Alasan klasik tersebut sudah sering terdengar. Ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan menjadi janji-janji otoritas pajak yang jarang terpenuhi. Banyak kalangan menilai rasio perpajakan (
tax ratio) Indonesia harusnya bisa mencapai 14 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi karena tak sanggup, DJP justru menantang siapapun yang bisa merealisasikan itu. Sebagai informasi,
tax ratio Indonesia saat ini baru sekitar 12 persen. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, angka itu relatif rendah. Filipina mencatat
tax ratio 14,64 persen, Thailand 17 persen, dan Malaysia 15,5 persen.
Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak, dalam beberapa kesempatan mengaku sulit untuk mengoptimalkan penerimaan dari sektor pajak. Sebab, perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dengan besarnya potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut (
tax coverage ratio) masih rendah, yakni baru separuh dari potensi ekonomi yang dapat dikenai pajak. Permasalahannya adalah jumlah fiskus yang ada saat ini sangat terbatas untuk menjangkau para wajib pajak yang tersebar di seluruh tanah Air.
Defisit MelebarBelanja melonjak, penerimaan anjlok, ujung-ujungnya berutang untuk menutup defisit anggaran. Dalam APBN Perubahan 2014, defisit anggaran dipatok Rp 241,5 triliun atau 2,4 persen dari PDB. Angka tersebut dinilai masih wajar oleh Kemenkeu mengingat banyak Negara mengalami defisit yang jauh lebih tinggi. “Defisit kita masih aman karena belum melampaui batas maksimal yang sudah ditentukan, yakni 3 persen,” kata Askolani.
Aman, karena ada Direktorat Jenderal Utang (DJPU) Kementerian Keuangan yang mendapat amanat untuk mencari pinjaman. Bisa pinjam dari dalam negeri maupun luar negeri.
Scenaider C. H. Siahaan, Direktur Strategi dan Portfolio Utang Kementerian Keuangan, mengatakan sejak krisis utang 1997-1998, pemerintah berhati-hati menarik pinjaman luar negeri. Menurutnya, lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. “Contohnya pinjaman proyek, biasanya negara kreditur memberikan pinjaman untuk mendanai proyek tertentu asalakan bahan bakunya beli dari dia. Jadi ada kepentingan politik dibalik itu,” ujar Scenaider.
Hal inilah yang membuat orientasi pembiayaan Indonesia akhirnya lebih diprioritaskan ke dalam negeri, dengan menerbitkan obligasi Negara. Scenaider mengatakan pembiayaan dari pasar memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk menggunakannya. "Sejak 2004, pemerintah mengurangi utang luar negeri, tetapi untuk beberapa hal yang belum bisa didapat di dalam negeri masih harus pinjam dari luar. Tapi itu jumlahnya kecil sekali,” katanya.